Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Utang yang melilit sejumlah Badan Usaha Milik Negeri (BUMN) termasuk sektor energi kini menjadi perhatian pemerintah. Yang terbaru, Menteri BUMN Erick Thohir kini berfokus menyehatkan keuangan perusahaan setrum pelat merah, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang utangnya mencapai Rp 500 triliun.
"PLN itu utangnya Rp 500 triliun, tidak ada jalan kalau tidak segera disehatkan," kata Erick dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (3/6).
Salah satu langkah terobosan yang dilakukan pemerintah yakni dengan memangkas anggaran belanja modal perusahaan. Erick mengungkapkan upaya pemangkasan belanja modal PLN bahkan telah mencapai 24%.
Di sisi lain, Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN Agung Murdifi mengungkapkan berbagai peningkatan investasi yang dilakukan PLN dalam beberapa tahun terakhir berdampak positif pada berbagai sektor.
Baca Juga: Supaya IPO berjalan sukses, BUMN dapat mencari pendanaan lebih dahulu lewat SWF-INA
"Aset PLN juga tumbuh signifikan sehingga di tahun 2020 menjadi sekitar Rp 1,589 triliun naik sebesar Rp 275 triliun dibandingkan tahun 2015," kata Agung dalam keterangan resmi kepada Kontan.co.id, Kamis (10/6)
Agung menjelaskan dalam beberapa tahun terakhir, investasi PLN, khususnya untuk pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan meningkat secara drastis hal mi seiring dengan mandat PLN sebagaimana amanat Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2016 untuk Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Total kapasitas pembangkit terpasang misalnya, meningkat dan semula hanya 55,5 Gigawatt (GW) pada tahun 2015 menjadi 66,3 GW pada tahun 2020. Pembangunan infrastruktur ini membuat pasokan daya listrik di seluruh Indonesia menjadi memadai dan siap mendukung gerak roda perekonomian daerah dan nasional.
Kegiatan rasio elektrifikasi juga disebut meningkat. Pada tahun 2015 rasio elektrifikasi baru mencapai 88,3%, dan naik signifikan hanya dalam kurun 5 tahun menjadi 99,2% pada tahun 2020.
Agung menambahkan, salah satu indikator pendorong kemajuan ekonomi suatu negara yaitu Ease of doing business yakni untuk indikator Kemudahan Mendapatkan Listrik (Getting Electricity) juga meningkat drastis, yaitu pada tahun 2015 berada pada peringkat 78, dan membaik menjadi peringkat 33 pada tahun 2020.
"PLN juga terus memberikan kontribusi kepada negara melalui pajak-pajak, PNBP, dan sebagainya. Sejak tahun 2015 hingga 2020 totalnya lebih dan Rp 174 Triliun," kata Agung.
Agung memastikan pembangunan aset infrastruktur kelistrikan yang ada didanai beberapa sumber antara lain Penyertaan Modal Negara (PMN), dana internal dan juga sumber pinjaman.
Berdasarkan Iaporan keuangan sejak 2015 - 2019, total Interest Bearing Debt mengalami peningkatan seiring dengan jumlah aset yang beroperasi, namun demikian pada 2020 jumlah interest bearing debt mulai mengalami penurunan yaitu:
2015: Rp 382,73 T
2016: Rp 274,51 T
2017: Rp 316,99 T
2018: Rp 388,26 T
2019: Rp 454,17 T
2020: Rp 452,41 T
Agung melanjutkan, dengan interest bearing debt yang ditekan, PLN masih mampu mencetak kinerja positif pada tahun 2020 yang dilihat dari membaiknya posisi likuiditas, rasio leverage dan net income yang tetap tumbuh di masa pandemi covid-19.
Baca Juga: Kejar target kenaikan pajak hingga 8,73%, pemerintah perlu cari cara selain pajak
"PLN memastikan dalam pengelolaan utang mempertimbangkan penggunaan secara hati-hati (prudent) dan proporsional untuk menjaga kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban baik bunga
pinjaman dan pelunasan pokok pinjaman serta debt covenant yang ada dengan memperhatikan pengendalian likuiditas perusahaan," jelas Agung.
Agung memastikan kebijakan pendanaan PLN tidak terbatas pada satu sumber dan pemilihan pendanaan pun dilakukan dengan memperhatikan tingkat biaya pinjaman, tenor, denominasi, size serta kebutuhan investasi perusahaan.
PLN juga selalu mempertimbangkan kondisi pasar uang dan memperhitungkan resiko keuangan yang mungkin timbul di masa depan. Upaya menjaga tingkat utang juga turut dilakukan holding perusahaan pertambangan, MIND ID.
Adapun, BUMN Holding Industri Pertambangan, Mining Industry Indonesia (MIND ID) tercatat memiliki utang jatuh tempo sebesar US$ 500 juta pada November tahun ini.
Direktur Utama MIND ID Orias Petrus Moedak mengungkapkan sebelumnya besaran utang mencapai US$ 1,02 miliar. Akan tetapi utang tersebut telah di refinancing saat penerbitan global bond sebesar US$ 2,5 miliar di bulan Mei 2020 lalu.
"US$ 1,02 miliar di 2021 kita sudah bayar saat terbitkan global bond US$ 2,5 miliar di mana US$ 500 juta untuk bayar dan US$ 500 jutaan lagi (akan) dibayar di November 2021," terang Orias dalam Konferensi Pers Virtual, belum lama ini.
Jika ditarik lebih jauh, merujuk laporan keuangan MIND ID pada 2020 lalu. Holding tambang ini memiliki total liabilitas mencapai Rp 108,19 triliun atau meningkat 16,27% year on year (yoy) dimana pada 2019 liabilitas MIND ID sebesar Rp 93,05 triliun.
Jumlah tersebut terdiri dari liabilitas jangka pendek sebesar Rp 26,58 triliun dan liabilitas jangka panjang mencapai Rp 81,60 triliun. Adapun, dari jumlah total liabilitas jangka pendek, utang obligasi menjadi kontributor terbesar mencapai Rp 9,09 triliun dan pinjaman bank jangka pendek sebesar Rp 4,87 triliun.
Sementara itu, total liabilitas jangka panjang kontribusi terbesar datang dari utang obligasi yang mencapai Rp 69,12 triliun dan pinjaman bank sebesar 6,03 triliun. Sedangkan total aset per 2020 mencapai Rp 180,77 triliun atau meningkat 9,66% yoy. Pada 2019 total aset MIND ID sebesar Rp 164,84 triliun.
Dari jumlah tersebut, investasi pada PT Freeport Indonesia mendominasi mencapai Rp 69,92 triliun pada akhir tahun lalu atau meningkat dari Rp 64,71 triliun setahun sebelumnya. MIND ID mencatatkan total ekuitas mencapai Rp 72,58 triliun atau meningkat tipis dari jumlah tahun 2019 sebesar Rp 71,79 triliun.
Baca Juga: Pemerintah ungkap 5 BUMN penyumbang dividen terbesar tahun 2020
Adapun, untuk Pertamina per 30 Juni 2020 diketahui memiliki utang sebesar US$ 40,56 miliar atau setara Rp 602,43 triliun. Adapun jumlah utang itu tercatat naik 13,1% dari US$ 35,86 miliar pada 31 Desember 2019.
Dalam pemberitaan Kontan.co.id, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menyebutkan, memasuki paruh kedua 2020 Pertamina melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja, sesuai dengan arahan Menteri BUMN. Yaitu melakukan transformasi, efisiensi, dan akuntabilitas secara konsisten. Sehingga di penghujung tahun 2020 bisa mencetak laba bersih.
Nicke menuturkan, Pertamina juga melakukan pengelolaan utang dalam upaya untuk mempertahankan rasio keuangan yang sehat, hasilnya menunjukkan prognosa rasio utang akhir tahun 2020 tetap terjaga baik dengan tren yang masih kompetitif dibandingkan dengan perusahaan migas nasional maupun internasional lainnya.
Dengan posisi keuangan ini, tiga lembaga pemeringkat internasional yaitu Moody's, S&P dan Fitch kembali menetapkan Pertamina pada peringkat investment grade masing-masing pada level baa2, BBB dan BBB.
Direktur Eksekutif Institute For Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan pada kasus PLN, opsi pencarian dana yang dilakukan yakni dengan mencari pinjaman dengan terms yang lebih baik serta bunga lebih rendah untuk lunasi utang dengan bunga yang lebih tinggi.
Fabby melanjutkan, penugasan pemerintah kepada PLN untuk pembangunan infrastruktur dan sistem kelistrikan lainnya haruslah mempertimbangkan kemampuan finansial PLN.
"Dalam kasus PLN, kuncinya adalah perbaikan tarif tenaga listrik yang selama beberapa tahun ini tidak mengalami penyesuian dan demikian juga dengan pemberlakuan tarif adjustment," kata Fabby kepada Kontan.co.id, Kamis (10/6).
Fabby pun menambahkan, jika ada penyesuaian tarif dengan memasukkan tingkat pengembalian investasi (RoI) atau aset (RoA) dan margin yang layak untuk public utility, maka keuangan PLN akan lebih sehat dan mampu untuk menyediakan investasi dari dana perusahaan dan bisa mengurangi utang.
Fabby mengungkapkan, untuk program penugasan 35 ribu MW PLN membutuhkan biaya sekitar Rp 1.200 triliun dimana PLN menanggung sebesar Rp 580 triliun hingga Rp 590 triliun, sementara PMN sebesar Rp 40 triliun dan dana internal Rp 47 triliun serta sisanya sebesar Rp 497 triliun dari utang. "Kalau tidak utang, tidak bisa bangun transmisi dan distribusi," kata Fabby.
Senada, Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto mengungkapkan mayoritas utang yang melilit BUMN sektor energi juga disebabkan program penugasan oleh pemerintah. Sebagai contoh pelaksanaan program listrik 35 ribu MW untuk PLN. Dengan pendanaan yang terbatas maka PLN melakukan pencarian modal melalui penerbitan surat utang.
"Kalau tiap tahun butuh capex Rp 100 triliun maka dalam 5 tahun utang PLN bisa terakumulasi," kata Toto.
Toto mengungkapkan, refinancing utang merupakan suatu hal yang lazim dilakukan korporasi termasuk yang dilakukan PLN dan MIND ID. Dengan global bond yang memiliki bunga lebih rendah maka ada efek penghematan yang dinilai bisa dicapai.
"Supaya kesehatan lebih baik maka BUMN energi harus mulai meningkatkan financing project dari sisi ekuitas misalnya mengundang strategic investor atau memanfaatkan pembiayaan lembaga seperti LPI/SWF," sambung Toto.
Selanjutnya: OJK: Penyelesaikan kredit dengan skema debt to equity swap diperbolehkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News