kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rata-rata utlisasi industri TPT anjlok ke level 55%, ini penyebabnya


Kamis, 10 Juni 2021 / 21:45 WIB
Rata-rata utlisasi industri TPT anjlok ke level 55%, ini penyebabnya

Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), khususnya pelaku industri kecil menengah (IKM) makin terpuruk diserang importasi pakaian yang masih marak terjadi. Maka dari itu, pelaku industri berharap kebijakan safeguard bisa secepatnya dilaksanakan. 

Kondisi semakin tertekannya industri TPT tercermin dari rata-rata utilisasi industri TPT yang kembali anjlok menjadi sekitar 55% dari yang sebelumnya mencapai 70% di akhir tahun 2020. Di sisi lain, kendati Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia mengalami penguatan, PMI industri TPT justru terkontraksi hingga 13,28% di kuartal I 2021. 

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa memaparkan selama ini masih banyak yang berpikir bahwa industri pakaian jadi kebanyakan dikerjakan perusahaan-perusahaan besar. Namun, pada kenyataannya industri pakaian jadi yang besar, rata-rata mengerjakan order dari brand ternama dan kebanyakan berada di kawasan berikat. Adapun bahan bakunya mayoritas dipasok oleh pemasok di luar negeri. 

Baca Juga: Produsen komponen elektronika terus didorong masuk ke pasar ekspor

Sedangkan, kebanyakan produk pakaian yang biasa rakyat Indonesia gunakan, dikerjakan oleh IKM dan UMKM. Kalaupun masih ada industri branded lokal kebanyakan sudah bekerja sama dengan IKM pola kerja inti dan plasma. Namun yang perlu digarisbawahi, saat ini pelaku IKM dan UMKM sangat banyak hingga 4 juta tenaga kerja. 

"Jika serbuan impor masuk terus menerus, pelaku usaha IKM dan UMKM tentu sangat terpukul. Impor garmen yang belakangan makin marak adalah hijab dan gamis yang dijual secara online," jelasnya dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (10/6). 

Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI), Redma Gita mengatakan saat ini kondisi pasar sedang kurang baik karena kondisi pandemi Covid-19. Adanya kondisi ini, menurut Redma, seharusnya pasar domestik bisa memberikan jaminan pasar bagi pelaku industri lokal. 

"Kalo diisi oleh barang-barang impor tentu kita tidak mendapatkan keuntungannya karena banyak masyarakat memerlukan penghasilan di tengah pandemi Covid-19," ungkapnya. 

Oleh karenanya, pihaknya mendorong dilaksanakannya safeguard produk garmen. Adapun menurut hasil penyelidikan Komite Perlindungan Pasar Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan, sejumlah produk garmen (pakaian dan aksesori pakaian) yang diimpor menimbulkan injury bagi industri dalam negeri.  

Baca Juga: Laba Gunung Raja Paksi (GGRP) melonjak 687,27% pada kuartal I, ini kata manajemen

Melansir Laporan Akhir Hasil Penyelidikan Tindakan Pengamanan Perdagangan terhadap Impor Barang Pakaian dan Aksesori Pakaian yang dirilis KPPI, terbukti 7 produk TPT mengalami lonjakan impor dari tahun ke tahun. Ketujuh produk itu adalah atasan casual, atasan formal, bawahan, setelan-ensemble-gaun, outwear, pakaian bayi, dan headwear & neckwear. 

Dalam laporan tersebut KPPI memaparkan, jumlah impor barang yang diselidiki secara keseluruhan mengalami lonjakan secara absolut setiap tahunnya yaitu pada 2017 sebesar 44.095 ton kemudian pada 2018 impornya meningkat 10,04% yoy menjadi 48.522 ton.  Kemudian pada 2019 meningkat lagi 8,29% menjadi 52.546 ton. 

Maka dari itu, KPPI merekomendasikan untuk mengenakan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) berdasarkan tarif spesifik rupiah per piece, khususnya untuk barang murah. Adapun kebijakan safeguard ini bersifat sementara. 

Jemmy menambahkan, perkembangan terkini kebijakan safeguard sudah memasuki tahap final stage di Kementerian Keuangan. 

Selain itu, industri TPT juga meminta pemerintah untuk menanggulangi impor ilegal dan impor borongan unprocedural (under invoice, under volume, under value, pelarian HS dan transhipment) yang masih marak. Pihaknya meminta penindakan hukum yang lebih tegas dan serius terhadap pelaku-pelakunya yang sebagian besar justru mendapatkan fasilitas jalur hijau.

Baca Juga: Produksi garam rakyat masih sulit menembus pasar industri non konsumsi

Terkait maraknya penjualan barang impor melalui platform e-commerce, pelaku usaha TPT mengapresiasi langkah dari pemerintah yang membatasi penjualan crossborder untuk 13 produk pakaian jadi. Selanjutnya pelaku usaha meminta pemerintah untuk membenahi dan menertibkan importir-importir yang memasukkan barangnya melalui Pusat Logistik Berikat (PLB) E-Commerce.

Dari sisi ekspor, di tengah kondisi pasar global yang belum menunjukkan perbaikan dari sisi permintaan, industri TPT nasional masih terus berupaya untuk bisa mempertahankan kinerja ekspornya.

Namun upaya ini masih terhambat logistik dimana freight cost naik hingga 4 kali lipat karena minimnya ketersediaan kapal maupun kontainer.

Selanjutnya: Simak strategi Impack Pratama (IMPC) mengejar target pendapatan pada tahun 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×