kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha menilai penertiban tanah terlantar dapat mendorong lahan produktif


Selasa, 26 Januari 2021 / 20:25 WIB
Pengusaha menilai penertiban tanah terlantar dapat mendorong lahan produktif

Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah diundangkannya UU nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja, pemerintah saat ini tengah proses menyusun sejumlah aturan turunan UU tersebut. Salah satu aturan turunannnya adalah PP tentang penertiban kawasan dan tanah terlantar.

Dalam draf RPP tentang penertiban kawasan dan tanah terlantar disebutkan, setiap Pemegang Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha harus wajib mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan Izin/Konsesi/Perizinan Berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai.

Tanah Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak. Tanah Hak Guna Usaha menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya hak.

Tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah menjadi objek penertiban Tanah Telantar jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya Dasar Penguasaan Atas Tanah.

Baca Juga: 70% Lahan Kalsel dikuasai industri ekstraktif, Jatam dan Walhi minta evaluasi izin

Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bidang Keuangan dan Perbankan, Ajib Hamdani mengatakan, Himpi mendukung adanya aturan tersebut. “Hipmi mendukung kebijakan ini. Regulasi ini akan mendorong agar semua sumber daya, termasuk lahan, bisa produktif,” kata Ajib kepada Kontan, Selasa (26/1).

Hipmi menilai, fungsi insentif dan disinsentif akan efektif untuk mengoptimalkan lahan-lahan yang sebelumnya tidak produktif, hanya ditumpuk, menjadi lahan yang produktif. Agar pelaksanaan aturan tersebut dapat berjalan dengan baik, Hipmi meminta Pemerintah membuat instrumen regulasi yang terukur dan tepat sasaran, didukung oleh database tentang lahan-lahan yang tidak produktif.

“Selanjutnya pemerintah bisa menegakkan aturan disinsentif lahan tidak produktif ini dari sisi perijinan maupun sisi pajaknya,” tutur Ajib.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut, permasalahan pertanahan di Indonesia terjadi karena maraknya penelataran tanah, yang umumnya dikuasai oleh badan usaha/perusahaan swasta maupun perorangan.

Munculnya status kawasan dan tanah telantar terjadi karena pemilik tanah tidak memanfaatkan, tidak mengusahakan, tidak mempergunakan atau tidak memelihara tanahnya. Tidak jarang, hal ini menimbulkan sengketa dan konflik pertanahan

Pemerintah sendiri tidak mudah mengambil alih kawasan dan tanah yang berstatus telantar tadi, dan kebanyakan usaha bersidang di pengadilan berujung dengan kegagalan. Namun, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK), dalam pasal 180 sudah menegaskan bahwa apabila hak, izin, atau konsesi atas tanah atau kawasan yang sengaja tidak usahakan atau ditelantarkan pemiliknya dalam jangka waktu 2 tahun sejak diberikan akan dikembalikan kepada negara.

“Ini yang melatarbelakangi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar karena kami menyadari kurang optimalnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam mengatur tanah telantar,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR), Budi Situmorang.

Baca Juga: Jatam: Banjir Kalsel karena banyaknya izin tambang batubara dan sawit

Budi mengatakan, selain UU CK Pasal 180, Kementerian ATR/BPN memang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Menurut dia, ada lima hal yang disasar dalam revisi PP tersebut. Tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam pertanahan, menjamin kepastian hukum, mewujudkan kepatuhan atas aturan, mewujudkan kemanfaatan atas tanah, serta memperkuat fungsi sosial hak atas tanah.

Ia bilang, setelah UU CK terbit, apabila terdapat sebagian tanah yang ditelantarkan akan mengakibatkan hapusnya hak atas tanah atau hak pengelolaan pada bagian tanah yang ditelantarkan. Namun, tidak mengakibatkan terhapusnya hak atas tanah atau Hak Pengelolaan pada bagian tanah yang tidak ditelantarkan.

“Apabila yang ditelantarkan dibawah 25 persen maka hak atas tanah bagian yang ditelantarkan akan hilang dan pemiliknya dapat mengajukan permohonan revisi luas bidang tanah,” ujar dia.

Budi menyebutkan, yang menjadi objek kawasan telantar adalah kawasan industri, kawasan pertambangan, kawasan perkebunan, kawasan pariwisata serta kawasan lain yang pengusahaannya didasarkan pada izin, konsesi atau perizinan berusaha. Untuk objek tanah telantar adalah tanah hak milik, tanah hak pengelolaan, tanah Hak Guna Bangunan (HGB), tanah Hak Guna Usaha (HGU), tanah Hak Pakai serta tanah yang diperoleh atas dasar penguasaan.

Hal tersebut diakibatkan karena memang pemilik dengan sengaja tidak mempergunakan/tidak memanfaatkan/tidak mengusahakan/tidak memelihara tanahnya.

“Yang dimaksud dengan sengaja di sini adalah apabila memang secara de facto, pemegang hak atas tanah tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan atau tidak memelihara tanah sesuai dengan pemberian haknya atau rencana pengusahaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,” ujar Budi.

Sebagai informasi, pasal 180 UU nomor 11 tahun 2020 berbunyi sebagai berikut :

Pasal 180

(1) Hak, izin, atau konsesi atas tanah danlatau kawasan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling larna 2 (dua) tahun sejak diberikan dicabut dan dikembalikan kepada negara.

(2) Dalam pelaksanaan pengembalian kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan hak, izin, atau konsesi tersebut sebagai aset Bank Tanah.

(3) Ketentuan lebih lanjut pencabutan hak, izin, atau konsesi dan penetapannya sebagai aset Bank Tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Selanjutnya: Presiden Jokowi serahkan 584.407 sertifikat kepada masyarakat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×