Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengaturan baru logam tanah jarang (LTJ) alias rare earth element (REE) menjadi angin segar bagi PT Timah Tbk (TINS). LTJ bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang pengusahaan minerba. LTJ tak lagi sebagai radio aktif, namun masuk ke dalam golongan mineral logam yang dapat diusahakan.
Direktur Pengembangan Usaha TINS Alwin Albar menyampaikan, ketentuan tersebut bisa membuat PT Timah lebih leluasa melakukan pengolahan tanpa tergantung kepada otoritas yang memiliki hak mengelola radio aktif.
TINS pun tengah melakukan eksplorasi untuk mengetahui volume mineral LTJ yang dimiliki, sembari mencari teknologi yang proven secara komersial. TINS berencana untuk mengolah monasit menjadi rare earth hydroxida atau rare earth carbonate.
TINS pun memiliki rencana untuk membangun pabrik pengolahan monasit. Namun, proyek tersebut akan dikerjakan dengan sejumlah pertimbangan. "Tergantung hasil inventarisasi sumberdaya monasit & penguasaan teknologi yang proven secara komersial. Prospek sumber daya ada, harap diingat bahwa monasit merupakan mineral ikutan timah. Kegiatan eksplorasinya berbarengan dengan eksplorasi timah," terang Alwin kepada Kontan.co.id, Selasa (29/12).
Alhasil, keekonomian LTJ tidak terlepas dari penambangan timah karena monasit merupakan salah satu mineral ikutan timah. Oleh sebab itu, bisnis LTJ bagi TINS merupakan bisnis tambahan. "Yang akan diperoleh ketika melakukan proses penambangan timah secara total mining, memanfaarkan sisi keekonomian dari mineral ikutan timah," sambung Alwin.
Lebih lanjut, Sekretaris Perusahaan TINS Muhammad Zulkarnaen menilai perlu ada penguatan kebijakan terkait pengembangan industri berbasis LTJ. Termasuk dari sisi regulasi antar Kementerian dan Lembaga, seperti Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN). Jika diperlukan, ada juga tata kelola konsorsium nasional LTJ.
Baca Juga: PP Minerba atur pengusahaan logam tanah jarang, begini penjelasan Kementerian ESDM
Tujuannya, agar Indonesia memiliki peta jalan dengan target yang komprehensif dan eksplorasi detail dalam memperoleh cadangan terbukti, serta lebih meningkatkan koordinasi institusi terkait. "Kami harapkan adanya regulasi yang mengatur produk LTJ dengan menyesuaikan dengan kondisi industri LTJ di dunia, mengingat saat ini monasit sebagai mineral pembawa LTJ masih dikategorikan sebagai mineral radioaktif. Perlu dilakukan sinkronisasi UU Ketenaganukliran dengan UU Minerba," terang Zulkarnaen.
Dia menjelaskan, TINS sendiri sudah memiliki pilot plant pengolahan LTJ dalam mineral monasit. Kata dia, program pengembangan dan pengusahaan LTJ oleh TINS saat ini berfokus pada revalidasi potensi perolehan monasit dan pencarian teknologi yang sesuai dengan karakteristik maupun kuantitas monasit sebagai mineral pembawa logam tanah jarang. "Agar memenuhi kelayakan proyek," imbuh Zulkarnaen.
Apabila ada status industri pionir kepada pengusahaan LTJ dari hulu hingga hilir, maka perusahaan pun menanti insentif. "Status ini (Industri pionir) akan membawa konsekuensi pemberian insentif sesuai peraturan perundang-undangan," pungkas Zulkarnaen.
Terpisah, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menjelaskan, penggolongan mineral radioaktif mengacu pada unsur utama radioaktif seperti pada uranium dan torium. Lalu, perubahan terdapat pada monasit yang tidak lagi dikelompokkan sebagai mineral radioaktif.
"Karena monasit bukan mineral utama pembawa unsur radioaktif, tetapi pembawa utama mineral logam tanah jarang sehingga dikelompokkan pada golongan mineral logam," kata Yunus kepada Kontan.co.id, Selasa (29/12).
Dengan perubahan tersebut, apabila terdapat badan usaha yang akan mengusahakan monasit untuk memproduksi logam tanah jarang, maka hanya memerlukan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Sedangkan apabila dalam proses ekstraksi logam tanah jarang menghasilkan produk samping hasil olahan berupa uranium dan torium maka pengelolaannya dilaksanakan oleh instansi berwenang dalam hal ini Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan/atau Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
Mining and Industry Indonesia alias MIND ID selaku holding tambang BUMN, induk TINS, juga menyambut baik kebijakan tersebut. Senior Vice President Corporate Secretary MIND ID Rendi A. Witular mengatakan, pengembangan LTJ di Indonesia memang perlu didorong dari sisi regulasi.
"Kita menyambut baik rencana aturan tentang LTJ karena dari sisi regulasi sekarang banyak aturan yang perlu dirapikan," kata Rendi kepada Kontan.co.id, Senin (28/12).
Dia menekankan bahwa tantangan pengembangan LTJ di Indonesia bukan hanya dari sisi regulasi. Masih ada tantangan lainnya, seperti untuk memastikan tingkat potensi sumber daya dan cadangan LTJ agar bisa diolah secara berkelanjutan. Setelah itu, terkait faktor keekonomian jika LTJ dikembangkan ke produk yang lebih lanjut.
Lalu, mengenai faktor ketersediaan teknologi dalam pengolahan LTJ. Apalagi, karakteristik LTJ di Indonesia cukup berbeda. Sebab, keberadaan LTJ di Indonesia tidak langsung ditambang, melainkan hasil dari produk ikutan atau produk samping dari suatu komoditas tambang mineral.
"LTJ ini kalau di Indonesia beda dengan negara lain. Di kita, LTJ itu komoditas turunan, produk ikutan. Karena bukan (komoditas) yang langsung ditambang, sehingga masih perlu diteliti lebih lanjut lagi tingkat cadangan dan keekonomisannya," jelas Rendi.
Selanjutnya: Ini kata MIND ID terkait logam tanah jarang tak lagi masuk radio aktif di PP Minerba
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News