kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ini kata MIND ID terkait logam tanah jarang tak lagi masuk radio aktif di PP Minerba


Selasa, 29 Desember 2020 / 07:25 WIB
Ini kata MIND ID terkait logam tanah jarang tak lagi masuk radio aktif di PP Minerba

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Logam tanah jarang (LTJ) alias rare earth element (REE) bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba). LTJ tak lagi sebagai radio aktif, namun masuk ke dalam golongan mineral logam yang dapat diusahakan.

Mining and Industry Indonesia alias MIND ID pun menyambut baik kebijakan tersebut. Senior Vice President Corporate Secretary MIND ID Rendi A. Witular mengatakan, pengembangan LTJ di Indonesia memang perlu didorong dari sisi regulasi.

"Kita menyambut baik rencana aturan tentang LTJ karena dari sisi regulasi sekarang banyak aturan yang perlu dirapikan," kata Rendi kepada Kontan.co.id, Senin (28/12).

Meski begitu, dia tak menegaskan apakah regulasi terkait LTJ ini cukup di dalam PP Minerba atau perlu diterbitkan regulasi yang mengatur secara khusus. "Apa pun produk hukumnya, selama itu bisa mendukung pengolahan LTJ kita sudah senang," sambung Rendi.

Yang pasti, dua menekankan bahwa tantangan pengembangan LTJ di Indonesia bukan hanya dari sisi regulasi. Masih ada tantangan lainnya, seperti untuk memastikan tingkat potensi sumber daya dan cadangan LTJ agar bisa diolah secara berkelanjutan. Setelah itu, terkait faktor keekonomian jika LTJ dikembangkan ke produk yang lebih lanjut. 

Lalu, mengenai faktor ketersediaan teknologi dalam pengolahan LTJ. Apalagi, karakteristik LTJ di Indonesia cukup berbeda. Sebab, keberadaan LTJ di Indonesia tidak langsung ditambang, melainkan hasil dari produk ikutan atau produk samping dari suatu komoditas tambang mineral.

"LTJ ini kalau di Indonesia beda dengan negara lain. Di kita, LTJ itu komoditas turunan, produk ikutan. Karena bukan (komoditas) yang langsung ditambang, sehingga masih perlu diteliti lebih lanjut lagi tingkat cadangan dan keekonomisannya," jelas Rendi.

Baca Juga: MGEI sambut pengaturan baru logam tanah jarang di PP Minerba

Asal tahu saja, holding pertambangan BUMN ini pun sudah melakukan identifikasi pada sejumlah jenis LTJ yang ada di Indonesia. Namun sampai saat ini yang paling dominan teridentifikasi baru pada monasit dari timah dan lumpur merah (red mud) dari pengolahan bauksit menjadi alumina.

Rendi mengungkapkan, pengolahan monasit dari pertambangan timah di Bangka Belitung masih perlu waktu. Sebab, masih dibutuhkan eksplorasi lanjutan untuk mengetahui tingkat  cadangan yang berkelanjutan. Hal itu penting lantaran mempengaruhi tingkat keekonomian yang layak saat pabrik pengolahan (smelter) itu dibangun.

Sementara untuk red mud, pasokannya akan melimpah sebagai produk samping atau sisa olahan bauksit. Yakni setelah beroperasinya Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat.

Namun, ketersediaan teknologi pengolahan red mud untuk menjadi produk turunannya pun masih menjadi tantangan. Kata Rendi, ketersediaan teknologi mesti dibarengi dengan bisnis model yang ekonomis dengan tingkat margin dan pengembalian modal yang menarik.

"Teknologi ada, cuman bagaimana bisa diolah menjadi produk yang punya profit, margin tinggi, itu masih pertanyaan. Bisa saja diolah, tapi jika margin-nya tipis dan return lama, bagaimana? itu komponen yang juga harus dipertimbangan," pungkas Rendi.



TERBARU

×