Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan sita jaminan fidusia secara paksa sudah berlangsung satu tahun. Keputusan yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 membuat multfinance mengeksekusi objek jaminan fidusia secara sepihak.
Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan menyatakan bagi perusahaan pembiayaan keputusan MK ini membuat adanya kecenderungan peningkatan rasio pembiayaan bermasalah. Lantaran jaminan fidusia tidak bisa langsung dieksekusi seperti sebelumnya bila tidak diserahkan secara sukarela.
“Tentunya akan pengaruhi kesehatan secara industri, kalau NPF (non performing financing) naik, maka diperlukan modal tambahan. Pandemi dan putusan MK ini menjadi double effect ke perusahaan pembiayaan,” papar Bambang dalam diskusi virtual, Kamis (11/2).
Baca Juga: Tahun ini, BCA Finance targetkan pembiayaan baru sebesar Rp 30 triliun
Lebih lanjut, ia menyatakan 80% dari perusahaan pembiayaan mendapatkan pendanaannya dari bank. Kondisi ini akan membuat bank semakin selektif bahkan hentikan memberikan pendanaan tersebut.
Ia melihat, hal ini akan memberi pilihan kepada perusahaan pembiayaan untuk menaikkan uang muka atau down payment bila tetap menggunakan jaminan fidusia. Pilihan lainnya bisa menggunakan asuransi kredit.
“Bagi yang tetap menggunakan fidusia maka perjanjian pembiayaannya harus merumuskan kesepakatan mengenai fidusia secara detail dalam kontrak. Implementasi yang lain, diperlukan proses peradilan yang sederhana dan cepat,” jelas Bambang.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menyatakan sebenarnya eksekusi jaminan fidusia merupakan langkah terakhir yang dilakukan oleh industri multifinance. Lantaran sebelum hal itu dilakukan, perusahaan pembiayaan telah melakukan komunikasi dengan nasabah.
“Kami harus lakukan penagihan, bila tidak membayar, maka kami surati hingga lakukan somasi 1 sampai 3, maka itu berujung pada eksekusi. Penagihan dan eksekusi jaminan sesuai dengan POJK 35 tahun 2018 bahwa apapun yang diatur oleh OJK sudah kami lakukan,” tutur Suwandi.
Terkait putusan MK ini, Direktur Mandiri Tunas Finance Harjanto Tjitohardjojo menyatakan lebih memprioritaskan melakukan negosiasi dengan nasabah untuk menyerahkan jaminan fidusia.
Baca Juga: Pada tahun ini, pencadangan multifinance mulai landai
Bila nasabah tidak mau kerja sama dan kepemilikan jaminan sudah beralih, maka MTF akan menempuh proses peradilan.
“Memang ada dampak dari putusan MK ini, tetapi tidak signifikan. Hanya proses lebih lama bila menempuh proses peradilan,” pungkas Harjanto.
Sebelumnya, MK memutuskan perusahaan pembiayaan (leasing) tidak bisa menarik atau mengeksekusi objek jaminan fidusia seperti kendaraan atau rumah secara sepihak.
MK menyatakan, perusahaan kreditur harus meminta permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri terlebih dahulu.
"Penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri," demikian bunyi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020.
Kendati demikian, perusahaan leasing tetap boleh melakukan eksekusi tanpa lewat pengadilan dengan syarat pihak debitur mengakui adanya wanpretasi.
"Sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi obyek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi)," lanjut MK.
Adapun mengenai wanpretasi tersebut, MK menyatakan pihak debitur maupun kreditur harus bersepakat terlebih dahulu untuk menentukan kondisi seperti apa yang membuat wanpretasi terjadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News