Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - DEPOK. Terhitung sejak 11 November 2020, Kota Depok mengalami lonjakan demi lonjakan kasus Covid-19 yang mengubah situasi pandemi jadi sangat mencemaskan seperti saat ini.
Sebetulnya, patut digarisbawahi, fenomena ini bukan hanya terjadi di Depok, melainkan juga Jakarta, Botabek, dan secara nasional, ditengarai imbas libur panjang akhir Oktober 2020.
Saat ini, Depok, sebagaimana DKI Jakarta, terus mendaki menuju puncak pandemi yang tak terbayangkan dan jauh lebih tinggi dari puncak-puncak yang sudah pernah dicapai sebelumnya.
Menilik jumlah kasus aktif/pasiennya, pandemi Covid-19 di Depok sudah dua kali mencapai puncaknya. Puncak pertama pandemi Covid-19 di Depok terjadi pada 26 Mei 2020 dengan 383 pasien.
Baca Juga: Menko Perekonomian: Larangan WNA masuk ke Indonesia diperpanjang 14 hari
Sesudahnya, jumlah pasien Covid-19 di Depok turun, melandai, sebelum kembali mencapai puncak kedua yang lebih tinggi pada 11 Oktober 2020, yakni 1.565 pasien. Kala itu, selisih 1.182 pasien antara puncak pertama dan kedua yang berjarak lima bulan itu menciptakan kemiringan grafik kasus aktif Covid-19 yang tampak curam.
Usai puncak kedua pada 11 Oktober 2020, Depok perlahan “menikmati” berkurangnya jumlah pasien Covid-19 secara signifikan, sama seperti DKI Jakarta, kemungkinan berkelindan dengan kebijakan rem darurat yang diambil Ibu Kota selama periode September-Oktober.
Baca Juga: Pahami peraturan dari Kemendagri untuk PPKM Jawa Bali, mulai besok berlaku
Dari rentang 24 Oktober-11 November 2020, misalnya, hanya satu kali Depok mencatat kasus baru Covid-19 di atas 100, yaitu pada 5 November 2020 dengan 118 kasus. Kemudian, pada 11 November 2020, jumlah pasien Covid-19 di Depok “tinggal” 1.022 orang. Penurunan itu terjadi karena rendahnya temuan kasus baru Covid-19.
Sementara itu, lebih banyak warga yang sebelumnya terpapar Covid-19 mulai berangsur sembuh pada saat yang sama.
Tapi sekarang, semua tahu, situasi sudah berubah drastis. Statistik berbicara, keadaan kali ini lebih gawat dan lebih cepat memburuk. Pasca 11 November 2020, temuan kasus baru Covid-19 di Depok mulai konsisten tembus 100 atau bahkan lebih.
Bila dikalkulasi, hanya dalam dua bulan terakhir, ada tambahan 2.852 pasien Covid-19 di Depok. Kenaikan setara 279 persen itu terjadi sejak awal lonjakan pada 11 November 2020 (1.022 pasien) hingga 11 Januari 2021 (3.874 pasien). Tak ayal, kenaikan kasus secara mencengangkan pada periode lawas bahkan jadi tampak landai saat berhadapan dengan curamnya grafik saat ini.
Puncak pertama dan kedua pandemi di Depok terlihat begitu pendek dibandingkan tingginya jumlah pasien Covid-19 saat ini yang belum tampak tanda-tanda ujung puncaknya.
Hujan lonjakan kasus di bulan Desember Lonjakan demi lonjakan temuan kasus baru harian juga tercatat pada periode 11 November 2020-11 Januari 2021 ini. Sebagai catatan, banyaknya kasus baru Covid-19 di Depok memang turut dipengaruhi oleh faktor pemeriksaan yang semakin masif.
Baca Juga: Inilah daerah yang diprioritaskan untuk PSBB Jawa Bali sesuai instruksi Mendagri
Namun, tak seperti di Ibu Kota, sulit mengukur pengaruh itu karena minimnya transparansi jumlah tes PCR harian yang dilakukan di Depok. Toh, fakta bahwa pandemi memang memburuk tetap dapat ditinjau dari total spesimen positif Covid-19 yang ditemukan dari sekian orang yang dites PCR (positivity rate/angka positif Covid-19).
Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok menyatakan, rerata positivity rate Covid-19 di Depok sempat tembus 30 persen. Itu berarti, tiga dari 10 warga Depok yang dites PCR positif Covid-19. Angka positivity rate itu enam kali lipat di atas ambang batas aman WHO (5 persen).
Baca Juga: Pekan pertama 2021, zona merah corona di Indonesia turun, berikut daftar & jumlahnya
Penambahan tertinggi kasus baru Covid-19 di Depok pertama kali terjadi pada 27 September 2020. Secara mengejutkan, ada 366 kasus baru saat itu, padahal sebelumnya hanya ada puluhan kasus baru saban harinya. Lalu, pada 2 Oktober 2020, penambahan tertinggi kedua pecah dengan 216 kasus baru.
Selanjutnya sampai akhir November 2020, temuan kasus baru Covid-19 mulai konstan di angka 100 kasus per hari. Namun, dalam kurun waktu itu, Depok hanya dua kali tembus 200 kasus baru sehari, yakni pada 17 dan 27 November dengan 205 kasus baru.
Memasuki dua pekan pertama Desember 2020, temuan 200 kasus baru atau lebih dalam sehari semakin kerap terjadi, bahkan beberapa kali tembus 300. Penambahan tertinggi akhirnya pecah pada 27 Desember 2020 saat Depok mengumumkan 461 kasus baru Covid-19 dalam sehari. Pada 8 Januari 2021, penambahan tertinggi kedua terjadi saat ada 407 kasus baru Covid-19 di Depok.
Rumah sakit terancam kolaps
Banjir pasien yang tak terkendali di sisi hulu mengakibatkan sisi hilir penanganan pandemi, yaitu rumah sakit, mengalami krisis, jika tidak dikatakan kolaps. Alarm di Depok sudah berbunyi sejak akhir November 2020.
Dua rumah sakit besar di Depok, yaitu RSUD Kota Depok dan RS Universitas Indonesia (RS UI), menyampaikan kepada pers bahwa okupansi ruang isolasi Covid-19 mereka mulai menyentuh 80 persen.
Baca Juga: Wagub DKI Jakarta sambut baik implementasi PPKM Jawa-Bali
Dari peringatan itu, ketersediaan ICU bagi pasien bergejala berat jadi hal yang paling mengkhawatirkan karena jumlahnya memang sedikit, sehingga tak dapat menerima seluruh pasien Covid-19 yang dirujuk ke dua rumah sakit itu.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil kemudian mengonfirmasi pada 2 Desember silam bahwa rata-rata keterpakaian tempat tidur isolasi pasien Covid-19 di rumah sakit-rumah sakit di Depok sudah mencapai 80-an persen. Kala itu, jumlah pasien Covid-19 “baru” 2.196 orang.
Pada 29 Desember 2020, ketika jumlah pasien Covid-19 sudah 3.343 orang, Direktur RSUD Kota Depok Devi Maryori membenarkan bahwa instalasi gawat darurat (IGD) di rumah sakit yang ia bawahi penuh. Akibatnya, pasien mesti mengantre.
Baca Juga: Daftar kota di Jawa Bali yang terkena pembatasan kegiatan / PSBB mulai 11 Januari
Sepekan berselang, Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok Novarita menyebutkan bahwa situasi di rumah sakit “semakin mencekam”. “Hampir mendekati 90 persen,” ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (5/1/2021), soal okupansi tempat tidur isolasi Covid-19 di 21 rumah sakit di Depok.
Yang lebih gawat, Novarita turut membenarkan bahwa 56 ruangan ICU untuk pasien Covid-19 di Depok juga sudah penuh. “Ya, begitu (sudah penuh). Kan (ketersediaan ICU di Depok) cuma 56, yang butuh se-Depok,” kata dia saat itu.
“Kasus-kasus juga banyak yang meningkat. Saya enggak bisa bilang kalau ICU non-Covid-19 masih banyak, karena ICU sedikit. Saya tidak punya data yang non-Covid-19 ada banyak atau tidak yang butuh ICU,” ucap Novarita kala ditanya soal ancaman kolapsnya rumah sakit.
Upaya Pemerintah Kota Depok
Upaya-upaya menghindari kolapsnya rumah sakit bukannya tak dilakukan di Depok. Mulanya, Pemerintah Kota Depok meresmikan dua lokasi isolasi khusus pasien Covid-19 tanpa gejala, yakni Wisma Makara serta penginapan Pusat Studi Jepang. Keduanya ada di dalam lingkungan UI.
Langkah ini dimaksudkan untuk menekan potensi penularan virus SARS-CoV-2 di lingkungan keluarga yang disebut sebagai penyumbang terbesar kasus Covid-19 selain klaster perkantoran. Hingga 8 Januari, sudah 704 pasien Covid-19 diisolasi di Wisma Makara dan 65 lainnya di Pusat Studi Jepang UI.
Namun, arus pasien Covid-19 di Depok masih terus membanjir, bahkan lebih cepat dari kemampuan membendungnya lewat pembenahan sistem layanan kesehatan.
Gubernur Ridwan Kamil sampai mengumumkan bahwa Depok siaga satu Covid-19 bersama Kabupaten Karawang, meski status itu dipertanyakan oleh Wali Kota Depok Mohammad Idris mengenai parameternya. Menurut Ridwan, status siaga satu disandang Depok dan Karawang lantaran telah empat pekan berturut-turut masuk kategori zona merah dan okupansi rumah sakitnya mengkhawatirkan.
Baca Juga: Ini daftar daerah di Jawa-Bali dengan PSBB ketat per 11-25 Januari 2021
Menindaklanjuti krisis ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU, Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok mengundang beberapa direktur rumah sakit untuk duduk bareng.
“Kami identifikasi gedung yang mereka punya. Saat ini kami sedang berkoordinasi dengan rumah sakit terkait kemampuan penambahan tempat tidur isolasi dan juga untuk ICU,” kata Dadang Wihana, juru bicara satgas, pada Kamis (7/1/2021).
“Lalu, (memetakan) rumah sakit apa yang bisa dikerjakan, dari pemerintah kota apa yang bisa diintervensi. Demikian pula kami akan mengusulkan kepada Provinsi dan pusat terkait ventilator yang jadi kebutuhan kita. Jumlahnya disesuaikan dengan sarana yang ada di rumah sakit. Direktur rumah sakit mengkonkretkan jumlah ruangan yang digunakan untuk tempat tidur ICU,” tutur dia.
Baca Juga: Siswa di DKI masih belajar dari rumah pada semester depan, ini penjelasan pemprov
Menanti keampuhan PPKM
Perhatian terhadap masalah di hulu penanganan pandemi, yakni membatasi mobilitas warga, baru tercurah ketika situasi sudah gawat dan dinilai terlambat. Pemerintah Indonesia mengumumkan diterapkannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di beberapa wilayah di Jawa dan Bali, termasuk di Jabodetabek.
Wali Kota Mohammad Idris menganggap arahan ini sebagai keputusan yang baik karena dapat menjadi simpul sinergi kebijakan antara daerah-daerah di Jabodetabek yang selama ini sulit tercapai.
Padahal, jauh sebelumnya, Depok sudah memberlakukan pembatasan aktivitas warga dan usaha—yang dipandang serupa jam malam, salah satu poin dalam PPKM pemerintah pusat—sejak akhir Agustus 2020.
Tak semua daerah tetangga mengambil kebijakan yang sama, padahal kekompakan antarwilayah Jabodetabek sangat dibutuhkan dalam mengatasi pandemi. Idris lalu menerbitkan sejumlah ketentuan dalam melaksanakan PPKM yang berlaku sejak Senin (11/1/2021) kemarin hingga 25 Januari 2021, sesuai arahan pemerintah pusat melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021, seperti: Pelaksanaan work from home (WFH) 75 persen bagi kantor/tempat kerja, baik pemerintah maupun swasta.
Operasional kegiatan toko, pusat perbelanjaan, dan tempat usaha/pusat kegiatan lainnya dibatasi sampai pukul 19.00 WIB. Aktivitas warga dibatasi sampai pukul 21.00 WIB. Operasional pasar tradisional dibatasi pukul 03.00-15.00 WIB, dengan jumlah pengunjung 50 persen dari kapasitas.
Kegiatan usaha restoran, kafe, rumah makan, warung, dan usaha sejenis diatur dengan ketentuan: pelayanan makan di tempat (dine in) dengan kapasitas 25 persen sampai pukul 19.00 WIB; pelayanan dibawa pulang (take away) sampai pukul 21.00 WIB.
Penyelenggaraan perayaan khitanan dan pernikahan dibatasi 30 persen dari kapasitas, serta harus melaporkan kepada RT, RW, dan kelurahan setempat. Entah akan sejauh apa efektivitas kebijakan yang satu ini. Idris meminta, kebijakan ini dipatuhi.
Baca Juga: 11 Januari berlaku, ini kota di Jawa Bali yang terkena pembatasan kegiatan / PSBB
"Kepada seluruh warga dan para pihak, dimohon untuk secara ikhlas dapat melaksanakan kebijakan ini, agar kita dapat segera memutus mata rantai penularan Covid-19 di Kota Depok," kata Idris melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Minggu (10/1/2021).
Ia melanjutkan, seluruh ketentuan pengaturan/larangan kegiatan yang ditetapkan oleh Pemkot Depok maupun Pemprov Jawa Barat, beserta ketentuan-ketentuan yang sudah diatur sebelumnya dalam PSBB Proporsional, tetap berlaku.
"Seluruh aktivitas warga dan usaha wajib menerapkan protokol kesehatan dan akan dilakukan pengawasan oleh Tim Terpadu Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok yang terdiri dari Pemerintah Kota Depok, TNI, dan Polri," ungkapnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mencermati Situasi di Depok Saat Pasien Covid-19 Naik 279 Persen dalam 2 Bulan"
Penulis : Vitorio Mantalean
Editor : Nursita Sari
Selanjutnya: Waspada yang ingin berlibur, ini zona merah corona di Indonesia per akhir 2020
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News