Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persoalan di industri asuransi kembali terjadi. Kali ini, jagat sosial media dihebohkan oleh para pemegang polis proudik asuransi berbalut investasi atau unitlink ramai membahas kerugian investasinya.
Azuarini Diah, pengamat asuransi dari Sekolah Tinggi Asuransi Trisakti menyatakan fenomena ini tak terlepas dari banyaknya pemegang polis yang masih awam dalam hal berinvestasi. Lantaran beranggapan dan tidak paham alasan nilai tunai polis bisa turun tanpa menyadari risikonya.
"Terutama kalau memilih unit linked dengan reksa dana yang underlying investasinya didominasi saham yang fluktuatif. Unit linked belum pas dipasarkan secara massal, harus dilakukan literasi maupun edukasi terhadap pemegang polis secara terstruktur yang merupakan tugas bersama," ujar Azuarini kepada Kontan.co.id pada Minggu (4/4).
Baca Juga: Menakar manfaat mudarat dari RPOJK Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan
Lanjutnya, saat ini penjualan asuransi hanya menggunakan ilustrasi imbal hasil yang rendah, sedang, hingga tinggi. Padahal Azuarini menekankan investasi juga bisa negatif alias rugi.
Azuarini bilang berdasarkan pengalaman selama ini baik di bank maupun asuransi, pengetahuan akan investasi masih rendah. Bila untung, nasabah cenderung diam namun ketika rugi mengaku tidak tahu.
Belum lagi pemegang polis tidak memonitor dan menyesuaikan kondisi pasar dengan portfolio. Persoalan lainnya, kedisiplinan pemegang polis terhadap kondisi pasar.
"Yang banyak, pemegang polis beli asuransi terus dibiarkan gitu saja polisnya. Perusahaan asuransi harus punya mekanisme dalam memberikan info pasar kepada nasabah nya. Ini juga salah satu bentuk edukasi," paparnya.
Selain itu, Ia mengingatkan agar calon pemegang polis memastikan agen yang menawarkan produk asuransi memiliki lisensi dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia. Juga penting untuk meminta ilustrasi unitlink yang jelas. Lalu menguji kebenaran penjelasan agen kepada perusahaan asuransi terkait.
Senada, pengamat asuransi Irvan Rahardjo menjelaskan persoalan di industri asuransi bermula saat inklusi keuangan cukup tinggi, namun literasinya masih rendah. Artinya, produk keuangan sudah banyak diminati masyarakat namun pemahaman terhadap produk itu masih rendah.
Baca Juga: Per akhir Maret, 87% nasabah bancassurance sepakat restrukturisasi polis jiwasraya
"Di antara itulah terjadi misselling yang dimanfaatkan oleh agen. Dalam soal unitlink, agen hanya mengilustrasikan optimisme untung saja. Padahal juga bisa merugi hingga 100%," jelas Irvan kepada Kontan.co.id.
Ia menyarankan agar asuransi kembali ke fungsi awalnya sebagai proteksi. Bukan disisipi dengan investasi. Sebaliknya, bagi nasabah yang hendak berinvestasi maka pilih instrumen murni investasi.
"Premi yang disetorkan oleh nasabah itu selama 3 tahun pertama itu 90%-nya akan digunakan untuk earning cost untuk komisi agen. Saat penjualan agen menjanjikan return tinggi,, ketika turun jadi tanggung jawab nasabah, itu kan tidak adil," papar Irvan.
Selain itu, Ia meminta agar Otoritas Jasa Keuangan meningkatkan pengawasan terhadap produk asuransi. Begitu pun pada tata cara penjualannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News