Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bencana banjir yang merendam Kalimantan Selatan (Kalsel) menyita perhatian publik. Bencana itu tak lepas dari kerusakan lingkungan dan alih fungsi kawasan hutan. Tambang batubara pun dituding menjadi salah satu penyebab utamanya.
Asosiasi Pertambangan Indonesia atau Indonesia Mining Association (IMA) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) pun angkat bicara. Pelaksana Harian Direktur Eksekutif IMA Djoko Widajatno pun menampik dugaan tersebut.
Dia memastikan, anggota IMA yang menambang di Kalsel sudah menjalankan aturan dan kaidah pertambangan, termasuk melakukan reklamasi. Merujuk laporan kinerja dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, sambung Djoko, pada tahun lalu reklamasi tambang yang dijalankan anggota IMA mencapai 100%.
Baca Juga: Jatam: Banjir Kalsel karena banyaknya izin tambang batubara dan sawit
"Tentunya ada tambang lain yang bukan anggota IMA, sehingga sangat sukar untuk dikontrol apakah mereka mengikuti aturan tambang yang benar atau tidak," kata Djoko kepada Kontan.co.id, Rabu (20/1).
Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia. Dia membeberkan, ada 91 produsen batubara yang menjadi anggota APBI di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, ada 17 perusahaan pemegang PKP2B dan IUP yang berlokasi di Kalsel.
"Sedangkan di Kalsel jumlah pemegang izin saja mencapai lebih dari 180 perusahaan," kata Hendra.
Anggota APBI, imbuh dia, terus berupaya memenuhi kewajiban lingkungan termasuk kewajiban reklamasi, dan rehabilitasi penanaman di Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal itu guna memenuhi aturan dari Kementerian ESDM maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Bahkan 4 perusahaan APBI dan ada yang beroperasi di Kalsel mendapatkan peringkat Emas Proper LH dan 6 peringkat hijau. Itu menandakan komitmen perusahaan untuk menaati ketentuan pengelolaan lingkungan," sebut Hendra.
Baca Juga: Jaga pasokan LPG, Pertamina gelar operasi pasar di Kalimantan Selatan
Meski begitu, tak dipungkiri ketika terjadi suatu bencana banjir atau longsor di wilayah kaya tambang, banyak pihak yang menghubungkan bencana dengan adanya perubahan ekosistem, hingga dikaitkan dengan lubang tambang. "Dalam hal ini BNPB masih mengkaji apakah ada keterkaitan antara aktivitas tambang tersebut dengan banjir," ungkap Hendra.
Dia menambahkan, perusahaan tambang pun terus memperbaiki pengelolaan tambang sesuai dengan kaidah tambang yang baik (good mining practices). Termasuk dengan menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan, meningkatkan produktivitas, dan menghilangkan redundansi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengklaim bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 alias UU Minerba akan lebih memperhatikan aspek lingkungan. Sebagai aturan turunannya, pemerintah masih membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pembinaan dan pengawasan serta reklamasi dan pasca tambang dalam pengelolaan usaha pertambangan.
"Ditjen Minerba berdasarkan UU yang baru memberikan perhatian sangat besar dalam hal pengelolaan lahan pasca tambang ini, dimana pada tahun 2020 sudah 100% program terealisasi," kata Ridwan saat paparan tahunan Ditjen Minerba yang digelar Jum'at (15/1) lalu.
Baca Juga: Dorong pemanfaatan kompor listrik, PLN gandeng tiga produsen ini
Berdasarkan catatan Ditjen Minerba, pada tahun 2020 realisasi reklamasi lahan bekas tambang mencapai 7.000 hektare (ha), atau mencapai target tahunan yang ditetapkan di angka yang sama.
Angka tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi reklamasi lahan bekas tambang di tahun 2019 yang mencapai 8.296 ha. Dalam tiga tahun sebelumnya, realisasi reklamasi mencapai 6.876 ha pada 2016, 6.808 pada 2017 dan 6.950 pada tahun 2018.
"Dalam rencana prioritas (2021), pengawasan dan penilaian reklamasi dan pascatambang berbasis teknologi seluas 7.025 hektare," sebut Ridwan.
Merujuk catatan Kontan.co.id, Kalimantan Selatan merupakan provinsi utama yang menyumbang produksi batubara. Dari rencana produksi pada tahun 2020, misalnya, produksi batubara dari Kalimantan Selatan direncanakan sebanyak 64,83 juta ton.
Angka itu setara dengan 31% dari target produksi nasional pada 2020, dan menempati urutan kedua. Hanya kalah dari Kalimantan Timur dengan rencana produksi 82,2 juta ton.
Selanjutnya: Indonesia kebut pengembangan ekosistem kendaraan listrik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News