kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BPK: Utang pemerintah sudah kelewat batas


Kamis, 24 Juni 2021 / 09:35 WIB
BPK: Utang pemerintah sudah kelewat batas

Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 menyebutkan bahwa pengelolaan utang pemerintah telah melampaui batas. Hal tersebut terlihat dari beberapa indikator.

Dalam hal ini, BKP mengacu pada panduan Organisasi Internasional Lembaga Audit Tertinggi atau INTOSAI yang menerapkan tiga indikator utama pengelolaan utang sebagaimana diatur dalam GUID 250.

Pertama, indikator keuangan terhadap risiko pasar dan risiko kredit. Dalam temuan BPK, risiko suku bunga atau variable rate debt proportion mengalami flukluasi pada tahun lalu 2020 hingga 14,17%. Tertinggi sejak tahun 2015 lalu.

BPK menyebut semakin tinggi risiko suku bunga, maka semakin tinggi pula kerentanan utang pemerintah terhadap flukluasi suku bunga mengambang. Pencapaian tersebut seiring dengan besarnya penerbitan surat berharga negara (SBN) di 2020 yang bertujuan untuk menanggulangi dampak pandemi virus corona.

Baca Juga: Yield dalam lelang SUN cenderung naik, minat investor tinggi

Di samping risiko suku bunga,  terdapat risiko nilai tukar rupiah yang menyentuh 33,53% di tahun lalu. Angka tersebut mengindikasikan perbaikan sejak tahun 2011 lalu. BKP mengklaim posisi risiko nilai tukar rupiah menandakan pengelolaan utang pemerintah telah dilakukan secara konsisten dalam mengurangi ketergantungan atas utang redominasi valuta asing.

Selain itu, rata-rata maturitas utang atau average time to maturity (ATM) menunjukkan preferensi pemerintah sebagai pengelola utang dalam mengatur risiko refinancing. Sedangkan peringkat kredit (credit rating) pada tahun lalu dapat memberikan wawasan pada investor tentang tingkat risiko yang terkait dengan investasi utang di negara tersebut.

Kedua, kerentanan utang terhadap perekonomian misalnya dilihat dari debt service to revenue atau perbandingan biaya pokok utang ditambah pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara mengalami kenaikan secara konsisten sejak tahun 2013. Puncaknya terjadi pada tahun 2020 yaitu sebesar 46,77%. 

Padahal, threshold atau ambang batas yang dinyatakan dalam GUID 5250 adalah sebesar 25%-35% berdasarkan IMF dan sebesar 28%-63% berdasarkan IDR. 

 “Untuk mengendalikan risiko kerentanan utang tersebut, Pemerintah perlu mengendalikan pembayaran cicilan pokok dan bunga dengan pengendalian utang yang hati-hati atau berupaya meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi di bidang perpajakan,” tulis BKP dalam LKPP 2020. 

Kemudian, dari sisi interest to revenue atau perbandingan pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara mengalami kenaikan secara konsisten sejak tahun 2013. Puncaknya terjadi pada tahun 2020 menjadi sebesar 19,06%. Threshold yang dinyatakan dalam GUID 5250 adalah 7%-0% berdasarkan IMF dan 4,6%-6,8% berdasarkan IDR. 

Lalu, debt to revenue atau perbandingan utang terhadap penerimaan mengalami kenaikan secara konsisten sejak tahun 2012 dan puncaknya terjadi pada tahun 2020 menjadi sebesar 369%. Threshold yang dinyatakan dalam GUID 5250 adalah 90%-150%, dan IMF dan 92%-167% berdasarkan IDR. 

Setali tiga uang, BPK bilang tren atas ketiga indikator kerentanan utang tersebut menggambarkan laju penambahan utang dan bunga utang tidak sebanding dengan laju penerimaan negara yang akan digunakan untuk pembayaran utang dan bunga utang. 

Apabila pengelolaan utang dan penerimaan negara tetap menggunakan kebijakan saat ini, maka kesinambungan fiskal berisiko terganggu di masa mendatang. Selain itu, keseimbangan primer semakin negatif, dan ruang fiskal untuk keperluan layanan publik menurun.

Hal tersebut sebagai akibat dari semakin banyaknya penerimaan negara yang dialokasikan untuk pembayaran cicilan pokok utang dan bunganya. Sebab, Dampak pandemi yang menekan ruang fiskal semakin memperdalam kerentanan utang. 

Baca Juga: Di tengah pandemi, minat investor di obligasi ritel berpeluang tetap tinggi

“Meskipun demikian, sebelum pandemi terjadi di tahun 2020, tren ketiga indikator tersebut telah menunjukkan peningkatan yang berarti kondisi pengelolaan utang yang semakin rentan,” sebagaimana dalam LKPP 2020.

Ketiga, indikator keseimbangan fiskal atau lebih dikenal sebagai indikator keseimbangan utang dapat memberikan informasi mengenai besarnya penyesuaian fiskal. Berdasarkan LKPP 2020 perhitungan indikator kesinambungan fiskal diketahui bahwa pengelolaan fiskal pemerintah Indonesia tidak sinambung dan perlu mendapatkan perhatian khusus. 

BPK mengatakan hal itu disebabkan keseimbangan primer yang terus mengalami defisit sejak tahun 2012 dan semakin memburuk akibat dampak pandemi Covid-19 di tahun 2020. 

Adapun tahun ini, pemerintah bertekat akan lebih bijaksana dalam mengelola utang. Meskipun, sebagai gambaran realisasi pembiayaan hingga akhir Mei 2021 telah mencapai Rp 309,3 triliun, atau tumbuh 13,6% year on year (yoy). Angka tersebut setara dengan 30,7% dari target keseluruhan tahun sebesar Rp 1.006,4 triliun. 

“Utang yang meningkat akibat pandemi dan berbagai kebutuhan akibat pandemi serta countercyclical, harus terus dikelola dengan dinamika lingkungan yang makin tidak mudah,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, Senin (21/6).

Di sisi lain, Menkeu mengatakan di tahun ini pemerintah telah melakukan strategi pembiayaan SBN dengan cara front loading. Makanya porsi penerbitan utang dalam lima bulan sudah menggunung. Tujuannya, untuk memitigasi kenaikan suku bunga, dan dampak inflasi Amerika Serikat (AS). 

Selanjutnya: Wah, BPK menyebut, 443 pemda masuk kategori belum mandiri secara fiskal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×