Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
Selain menyoroti soal implementasi besaran tarif royalti yang mesti dibayarkan menurut ketentuan yang baru. Menurut penjelasan Adrian, sebelumnya pembayaran royalti musik dilakukan dengan sistem sekali bayar per tahun dengan besaran jumlah yang tetap (lump sum).
Sementara itu, PP Nomor 56 Tahun 2021 belum mengatur secara jelas seputar besaran royalti yang mesti dibayarkan.
Beleid tersebut hanya menyebut, ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran Royalti ditetapkan oleh LMKN dan disahkan oleh Menteri. Hal ini dimuat pada Pasal 13 PP Nomor 56 Tahun 2021.
Adrian menilai, kalaupun nanti royaltinya dibayarkan dengan sistem bagi hasil atawa sharing, industri radio diberi ketetapan tarif royalti dengan besaran persentase yang lebih kecil dibanding penyelenggara layanan publik komersial lain seperti karaoke.
Adrian beralasan, lembaga penyiaran radio hanya memanfaatkan lagu/musik secara tidak langsung dalam kegiatan usahanya, sementara keuntungan yang diperoleh berasal dari sumber pendapatan lain dari pengiklan.
Baca Juga: APPBI berharap tak ada dobel penarikan royalti lagu dan musik
Hal ini berbeda menurut Adrian bila dibandingkan dengan penyelenggara layanan publik komersial lain seperti pengusaha karaoke yang secara langsung mendapatkan penghasilannya dengan mengandalkan lagu-lagu/musik.
Selain itu, ia juga berharap bahwa nantinya besaran persentase yang ditetapkan dalam pembayaran royalti bisa adil bagi semua pihak, baik pengusaha radio maupun pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait.
“Antara radio dengan musik itu saling membutuhkan, jadi mungkin treatmentnya (sebaiknya) dicari titik tengah,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News