kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.934   1,00   0,01%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Banyak kendala, proyek pembangkit 35.000 MW dinilai sulit terealisasi sesuai rencana


Kamis, 21 Januari 2021 / 07:05 WIB
Banyak kendala, proyek pembangkit 35.000 MW dinilai sulit terealisasi sesuai rencana

Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mega proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) masih terkatung-katung nasibnya. Besar kemungkinan realisasi proyek ini akan molor dari jadwal yang seharusnya.

Berdasarkan pemberitaan Kontan sebelumnya, realisasi proyek pembangkit 35.000 MW baru mencapai 8.400 MW atau setara 24% hingga Agustus 2020 lalu. Masih ada proyek yang sedang dalam tahap konstruksi sebanyak 19.000 MW, sementara proyek yang telah dilaksanakan kontrak power purchase agreement (PPA) sebesar 6.500 MW.

Adapun proyek pembangkit yang masih di tahap pengadaan tercatat sebesar 839 MW dan di tahap perencanaan sebesar 724 MW. Kementerian ESDM pun memproyeksikan, proyek 35.000 MW baru akan rampung secara keseluruhan sekitar tahun 2028—2029 mendatang.

Saat Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (19/1) kemarin, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut, pemerintah memiliki major project 2020—2024 berupa penambahan pembangkit listrik sebesar 24.307 MW yang mana 4.771 MW di antaranya merupakan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).

Baca Juga: Ingin produksi PLTS berbiaya rendah, Indonesia tiru India dan Portugal

Ia juga mengaku bahwa pada dasarnya pemerintah tetap berkomitmen menjalankan proyek ketenagalistrikan 35.000 MW. Sejumlah proyek yang sudah terkontrak memang akan terus dilanjutkan pengerjaannya. Di sisi lain, ada beberapa proyek pembangkit yang direnegosiasikan ulang dengan mempertimbangkan efek pandemi Covid-19 terhadap proyek tersebut.

Hanya saja, Kementerian ESDM belum bisa membeberkan data teranyar perihal realisasi proyek pembangkit 35.000 MW, termasuk daftar proyek yang tersendat.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajalu mengatakan, data proyek pembangkit yang mengalami kendala masih dalam peninjauan bersamaan dengan pembahasan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). “Ini masuk dalam substansi pembahasan RUPTL. Belum selesai dibahas,” ujar dia, Rabu (20/1).

Sementara itu, terkait proses renegosiasi sejumlah proyek pembangkit 35.000 MW, Ketua Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyampaikan, pada dasarnya pelaku usaha kelistrikan tetap berkomitmen pada perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya. Terlebih lagi, investasi yang dibutuhkan dalam proyek tersebut tergolong besar.

“Mengingat besarnya nilai investasi, sangat penting iklim usaha investasi tetap berpedoman pada hal ini,” imbuhnya, hari ini (20/1).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, jumlah proyek pembangkit 35.000 MW yang belum masuk masa konstruksi cukup besar. Pengerjaan proyek ini berpotensi tertunda lebih lanjut, bahkan berhenti dengan mempertimbangkan kondisi sistem PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang berpotensi mengalami kelebihan pasokan.

“Potensi oversuplai bisa terjadi khususnya di sistem Jamali hingga 2025 mendatang, karena rendahnya laju pertumbuhan permintaan,” ungkap dia, hari ini.

Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah segera mengkoreksi peraturan presiden (Perpres) terkait penugasan kepada PLN untuk proyek pembangkit 35.000 MW. Salah satunya dengan membatalkan sisa kapasitas pembangkit yang belum dibangun dan disubtitusi melalui pembangkit EBT.

Hal ini dinilai memberi manfaat bagi PLN karena bisa mengurangi beban perusahaan tersebut dan menurunkan risiko kelebihan pasokan serta membantu PLN mencapai target bauran EBT sebanyak 23% di tahun 2025 nanti.

Menurut Fabby, potensi kelebihan pasokan memang cukup besar dan bisa mencapai 40%--50%. Penyebab utamanya adalah mismatch antara proyeksi permintaan listrik dan realisasi konsumsi listrik.

Dalam hal ini, ketika proyek pembangkit 35.000 MW direncanakan, pemerintah mencanangkan target pertumbuhan ekonomi 7% sehingga untuk itu perlu ditopang dengan pertumbuhan listrik sekitar 7,5%--8% per tahun. Ditambah lagi, saat itu Indonesia masih mengalami kondisi kurang pasok di beberapa sistem.

“Jadi, di 2014 itu kebutuhan kapasitas pembangkit baru diperkirakan sekitar 25 GW—35 GW,” ucap Fabby.

Namun, dalam perjalanannya, pertumbuhan ekonomi di rentang 2015—2019 rata-rata hanya 5% dan pertumbuhan listrik di kisaran 4,5% atau jauh dari proyeksi yang dipakai dalam perencanaan. Alhasil, kelebihan pasokan tak terhindarkan. Belum lagi, terdapat pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi turun, termasuk pertumbuhan konsumsi listrik.

“Dalam tiga tahun ke depan, perkiraan pertumbuhan listrik mungkin di kisaran 4% per tahun sambil menunggu pemulihan ekonomi dan masuknya investasi baru pasca pandemi,” tandas dia.

Selanjutnya: Pemerintah siap kerjasamakan pengembangan lapangan migas dengan Pertamina

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×