Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - BRUSSELS. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah mencari dana segar senilai US$ 11,5 miliar untuk memerangi varian Delta yang lebih menular dari virus corona. Hal tersebut diketahui dalam sebuah rancangan laporan yang didapat Reuters.
Menurut dokumen yang diperkirakan akan dirilis minggu ini, sebagian besar uang tunai yang didapat dari mitra WHO diperlukan untuk membeli alat pengetesan Covid-19, oksigen, dan masker di negara-negara miskin. Dan seperempat dana tersebut bakal digunakan untuk membeli ratusan juta vaksin.
Laporan, yang masih dapat berubah, menguraikan hasil dan kebutuhan finansial Access to COVID-19 Tools Accelerator (ACT-A), program yang dipimpin bersama oleh WHO untuk mendistribusikan vaksin, obat-obatan, dan tes Covid-19 secara adil di seluruh dunia.
Seorang pejabat ACT-A mengatakan kepada Reuters, program yang didirikan pada awal pandemi itu, masih sangat kekurangan dana. Saat ini, koordinator program tersebut mengakui bahwa program itu akan tetap ada karena banyak pemerintah berupaya mengatasi kebutuhan global Covid-19 secara "berbeda".
Baca Juga: Kapan pandemi COVID-19 akan berakhir? Ini jawaban direktur jenderal WHO
Akibatnya, ACT-A telah memotong hampir US$ 5 miliar total permintaan dana. Meski demikian, program ini masih membutuhkan dana sebesar US$ 16,8 miliar dan dana senilai US$ 7,7 miliar sangat dibutuhkan.
Dokumen tersebut juga menyerukan tambahan US$ 3,8 miliar, di atas US$ 7,7 miliar, untuk mengambil opsi pengadaan 760 juta dosis vaksin Covid-19 yang akan dikirimkan tahun depan.
"Opsi untuk membeli ini perlu dilakukan dalam beberapa bulan mendatang atau dosis vaksin akan hilang," dokumen itu memperingatkan.
Baca Juga: Varian delta sudah menyebar ke seluruh Indonesia, ini yang akan dilakukan pemerintah
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pekan lalu mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan dana senilai US$ 7,7 miliar, tetapi tidak memberikan rincian pengeluaran yang direncanakan. Dia juga tidak mengatakan berapa banyak uang tambahan yang dibutuhkan untuk vaksin.
WHO belum mengeluarkan pernyataan terkait hal ini.
Krisis uang tunai terbaru ini menggarisbawahi kekhawatiran tentang masa depan jangka panjang dari program tersebut, yang telah berjuang untuk mengamankan pasokan dan peralatan untuk menjinakkan pandemi yang telah menewaskan lebih dari 4,2 juta orang di seluruh dunia.
Bagian vaksin dari proyek tersebut, yang disebut COVAX, semakin bergantung pada sumbangan dari negara-negara kaya daripada pasokannya sendiri, setelah produsen utama India membatasi ekspor vaksin untuk meningkatkan vaksinasi domestik.
Baca Juga: Pusat Kesehatan AS: Perang telah berubah karena varian Delta
Akan tetapi, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang juga telah menyumbangkan vaksin langsung ke negara-negara lain sebagai bagian dari upaya diplomasi vaksin mereka. Jepang juga mengatakan prosesnya lebih cepat daripada melalui COVAX.
Beberapa negara telah menyediakan peralatan secara langsung kepada negara lain juga. Bulan lalu, Australia mengatakan akan menyumbangkan peralatan terkait oksigen, alat uji antigen, serta vaksin ke Indonesia.
Baca Juga: Lonjakan covid-19 menyerang Asia, beberapa negara capai rekor tertinggi infeksi
Kebutuhan oksigen
Menurut laporan tersebut, di antara kebutuhan mendesak ACT-A antara lain dana senilai US$ 1,2 miliar untuk oksigen yang digunakan untuk merawat pasien Covid-19 yang sakit parah di negara-negara miskin di mana persediaannya rendah.
Menurut pejabat ACT-A, oksigen telah naik ke daftar prioritas utama mengingat vaksin tidak tersedia, dengan menyoroti dampak dari kekurangan vaksin karena varian Delta menyebar ke 132 negara.
COVAX telah mengirimkan sekitar 180 juta vaksin, jauh dari target 2 miliar pada akhir tahun ini.
"Oksigen diperlukan untuk mengendalikan lonjakan kematian eksponensial yang disebabkan oleh varian Delta," kata dokumen itu.
Permintaan global untuk oksigen medis saat ini belasan kali lebih besar daripada sebelum pandemi, kata dokumen itu. Akan tetapi, banyak negara berjuang untuk mengakses pasokan yang cukup.
Kebutuhan mendesak untuk perawatan paling dasar terhadap Covid-19 pasca satu setengah tahun pandemi menunjukkan betapa sedikit yang telah dilakukan untuk memerangi virus di sebagian besar dunia. "Belum banyak kemajuan. Apa yang mendesak tiga bulan lalu masih mendesak sekarang," kata pejabat ACT-A.
"Ketimpangan dalam akses terhadap alat-alat kesehatan Covid-19 yang bisa menyelamatkan jiwa tidak pernah sejelas ini," kata dokumen itu.
Baca Juga: Varian Delta Plus masuk Indonesia, seberapa bahaya virus ini?
Di negara-negara kaya, kebanyakan orang telah divaksinasi, termasuk yang lebih muda yang kurang berisiko dari Covid-19. Sedangkan di negara-negara miskin, kelompok yang paling rentan masih menunggu vaksin dosis pertama dan kekurangan bahan dasar, seperti masker dan alat pelindung diri (APD) lainnya.
"Kematian yang dapat dihindari dan tekanan yang tidak berkelanjutan pada sistem kesehatan meningkat di banyak negara karena kurangnya akses ke oksigen dan APD," kata dokumen itu.
Setidaknya, dana senilai US$ 1,7 miliar sangat dibutuhkan untuk membeli alat pelindung bagi petugas kesehatan di negara-negara miskin, kata dokumen itu. Sementara, sekitar US$ 2,4 miliar lainnya diperlukan untuk meningkatkan pengujian di negara-negara berpenghasilan rendah.
Selanjutnya: Budi Gunadi sebut Indonesia dan WHO finalisasi konsep pengembangan vaksin Covid-19
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News