Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pekan lalu mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan dana senilai US$ 7,7 miliar, tetapi tidak memberikan rincian pengeluaran yang direncanakan. Dia juga tidak mengatakan berapa banyak uang tambahan yang dibutuhkan untuk vaksin.
WHO belum mengeluarkan pernyataan terkait hal ini.
Krisis uang tunai terbaru ini menggarisbawahi kekhawatiran tentang masa depan jangka panjang dari program tersebut, yang telah berjuang untuk mengamankan pasokan dan peralatan untuk menjinakkan pandemi yang telah menewaskan lebih dari 4,2 juta orang di seluruh dunia.
Bagian vaksin dari proyek tersebut, yang disebut COVAX, semakin bergantung pada sumbangan dari negara-negara kaya daripada pasokannya sendiri, setelah produsen utama India membatasi ekspor vaksin untuk meningkatkan vaksinasi domestik.
Baca Juga: Pusat Kesehatan AS: Perang telah berubah karena varian Delta
Akan tetapi, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang juga telah menyumbangkan vaksin langsung ke negara-negara lain sebagai bagian dari upaya diplomasi vaksin mereka. Jepang juga mengatakan prosesnya lebih cepat daripada melalui COVAX.
Beberapa negara telah menyediakan peralatan secara langsung kepada negara lain juga. Bulan lalu, Australia mengatakan akan menyumbangkan peralatan terkait oksigen, alat uji antigen, serta vaksin ke Indonesia.
Baca Juga: Lonjakan covid-19 menyerang Asia, beberapa negara capai rekor tertinggi infeksi
Kebutuhan oksigen
Menurut laporan tersebut, di antara kebutuhan mendesak ACT-A antara lain dana senilai US$ 1,2 miliar untuk oksigen yang digunakan untuk merawat pasien Covid-19 yang sakit parah di negara-negara miskin di mana persediaannya rendah.
Menurut pejabat ACT-A, oksigen telah naik ke daftar prioritas utama mengingat vaksin tidak tersedia, dengan menyoroti dampak dari kekurangan vaksin karena varian Delta menyebar ke 132 negara.