kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Tahun Ini, Sebanyak 7 Smelter Baru Dijadwalkan Beroperasi


Selasa, 15 Maret 2022 / 08:15 WIB
Tahun Ini, Sebanyak 7 Smelter Baru Dijadwalkan Beroperasi

Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengejar tambahan fasilitas pemurnian alias smelter. Tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan sebanyak 2 smelter terintegrasi anyar bisa beroperasi tahun ini.

Kedua smelter terintegrasi yang dimaksud meliputi Pabrik Feronikel Halmahera Timur (P3FH) PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) yang berlokasi di Maluku Utara, dan smelter milik PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) di Kalimantan Selatan. 

Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba), Kementerian ESDM, Sugeng Mujiyanto mengatakan, Kementerian ESDM bakal memfokuskan seluruh upaya fasilitasi dan debottlenecking pada aspek perizinan, penguasaan lahan, pendanaan, pasokan energi, serta aspek lainnya yang terkait untuk mendukung proyek  smelter yang terintegrasi.

Baca Juga: Realisasi Investasi 4 Negara Asia Ini Mencapai US$ 47,29 Miliar pada 2017-2021

Untuk tujuan ini, Kementerian ESDM akan melanjutkan beberapa program seperti market sounding sebagai upaya fasilitasi pada aspek pendanaan, koordinasi intensif dengan PT PLN (Persero) sebagai upaya fasilitasi pada aspek pasokan energi, dan Koordinasi lintas Kementerian/Lembaga sebagai upaya fasilitasi dan debottlenecking pada seluruh aspek yang terkait.

“Sehubungan dengan terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, kewenangan Kementerian ESDM dalam hal pengawasan atas pembangunan serta pelaksanaan operasi fasilitas pemurnian mineral hanya dapat dilakukan terhadap fasilitas pemurnian yang terintegrasi dengan kegiatan penambangannya (integrated),” imbuh Sugeng (12/3).

Di luar target di atas, sebanyak 5 smelter yang berdiri sendiri alias stand alone juga dijadwalkan dapat beroperasi pada tahun ini, sehingga akan ada 7 smelter anyar yang beroperasi pada tahun ini jika berjalan sesuai rencana. 

Kelima smelter stand alone tersebut meliputi smelter dengan produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) PT Smelter Nikel Indonesia di Banten, smelter timbal bullion PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah, smelter Zinc Ingot PT Kobar Lamandau Mineral di Kalimantan Tengah, smelter grade alumina PT Well Harvest Winning AR (Fase II) di Kalimantan Barat, dan smelter Pig Iron PT Alchemist Metal Industry di Maluku Utara.

Ketujuh smelter tersebut akan menggenapi 21 smelter  di dalam negeri yang sudah selesai dibangun di dalam negeri sebelumnya. Secara terperinci, keduapuluh satu smelter tersebut terdiri atas 15 fasilitas pemurnian mineral Nikel, 2 fasilitas pemurnian mineral Bauksit, 1 fasilitas pemurnian mineral Besi, 2 fasilitas pemurnian mineral Tembaga, dan 1 fasilitas pemurnian mineral Mangan.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli mengatakan, dengan beroperasinya smelter-smelter baru, Indonesia telah mulai secara bertahap, mampu keluar dari jebakan sebagai negara penghasil bahan baku berbasis sumber daya alam semata.

“Indonesia ke depannya bisa menjadi negara yang mampu mengolah sumber daya alam yang dimilikinya, untuk menghasilkan produk-produk berbasis industri, yang selain mempunyai nilai ekonomis yang lebih besar, juga punya peran strategis dan vital bagi industri dunia,” ujar Rizal kepada Kontan.co.id (14/3).

Menurut Rizal, penambahan pabrik pengolahan sejumlah komoditas ini perlu ditindaklanjuti oleh sektor hilir di industri downstream dengan mengembangkan aneka industri yang menghasilkan produk-produk berbahan dasar komoditi logam mineral. Rizal mencatat, saat ini industri downstream berbasis logam mineral terbilang belum berkembang. 

Akibatnya,produk antara yang dihasilkan oleh pabrik pengolahan nikel, bauksit, timbal dan besi yang akan beroperasi di Indonesia sebagian besar produk akhirnya tetap diekspor keluar negeri.

Baca Juga: Hilirisasi Bahan Tambang Membuat Komoditas Besi dan Baja Jadi Primadona Ekspor

“Memang, membuat ekosistem industri end product berbasis logam, membutuhkan biaya yang besar, penguasaan teknologi, ketersediaan pasar, serta kesiapan sumber daya manusia. Fokus penyiapan hal-hal tersebut yang semestinya segera dibenahi oleh Pemerintah, agar hilirisasi mineral dapat dilakukan di dalam negeri secara tuntas, mulai dari penambangan hingga menghasilkan aneka end product yang bernilai besar,” terang Rizal.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, hilirisasi melalui smelter akan memberikan nilai tambah yang cukup signifikan terhadap produk yang dihasilkan. Sejalan dengan hal ini, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) negara juga bisa bertambah.

“Selain itu, multiplier effect yang lain juga akan didapatkan. Peningkatan tenaga kerja seharusnya bisa terjadi, perekonomian daerah sekitar smelter bisa tumbuh, kebutuhan dalam negeri juga seharusnya bisa terpenuhi sehingga bisa mengurangi impor dari produk yang dihasilkan sehingga CAD (current account deficit) bisa dikurangi,” kata Mamit saat dihubungi Kontan.co.id (14/3).

Lebih lanjut, Mamit menilai bahwa komitmen dari investor dalam menyelesaikan proyek-proyek smelter perlu dikawal. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan agar komitmen investor untuk menyelesaikan pembangunan smelter benar direalisasi, bukan sekadar untuk mendapat kuota ekspor semata.

“Selain itu, potensi terjadi ekspor ilegal masih sangat besar. Perlu pengawasan yang ekstra dari aparat penegak hukum dan lembaga terkait agar tidak terjadi illegal ekspor,” imbuh Mamit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×