kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45909,31   7,91   0.88%
  • EMAS1.354.000 1,65%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sektor ritel menjadi segmen usaha yang terperosok cukup dalam akibat pandemi


Sabtu, 13 Maret 2021 / 13:45 WIB
Sektor ritel menjadi segmen usaha yang terperosok cukup dalam akibat pandemi

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor ritel menjadi salah satu segmen usaha yang terperosok paling dalam tertimpa dampak pandemi covid-19. Sejumlah perusahaan atau emiten ritel pun mengalami penurunan pendapatan, bahkan menanggung kerugian. 

Terbaru, PT Hero Supermarket Tbk (HERO) dalam laporan keuangan tahun 2020 mencatatkan penurunan pendapatan bersih yang anjlok 26,99% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 8,89 triliun. Hal itu kemudian membawa HERO menanggung rugi tahun berjalan hingga Rp 1,21 triliun, atau membengkak dibanding tahun 2019 yang tercatat sebesar Rp 28,22 miliar.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan, membengkaknya kerugian yang dialami HERO menggambarkan suramnya industri ritel sepanjang tahun lalu. Dengan adanya pembatasan mobilitas dan penurunan konsumsi masyarakat, pendapatan peritel pun melorot.

Baca Juga: Pendapatan Hero Supermarket (HERO) turun, rugi bersih melonjak jadi Rp 1,21 triliun

Sebaliknya, beban bertambah karena peritel juga harus menerapkan protokol kesehatan termasuk mengeluarkan biaya tambahan untuk pengadaan disinfektan, hand sanitizer serta alat pelindung diri. Selain tetap mengeluarkan biaya rutin seperti sewa dan biaya karyawan.

"Itu gambaran industri ritel, dimana kondisinya memang lemah. Ada covid-19, PSBB ketat, sehingga transaksi berkurang. Namun biaya bertambah, biaya tetap harus berjalan," kata Roy saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (12/3).

Dia memberikan gambaran, dari skala 100 indeks kepercayaan konsumen pada tahun lalu selalu di bawah 70 secara bulanan. Omzet peritel secara umum pun turun drastis. Untuk ritel di segmen pangan, Roy mencatat ada penurunan rerata sebanyak 40%. Sedangkan omzet untuk ritel non-pangan anjlok hingga 60%.

Ditambah lagi, penjualan saat masa bulan ramadan dan lebaran pun merosot parah. Indeks penjualan riil saat momentum itu bahkan minus 20,6% secara tahunan. Roy bilang, itu merupakan titik nadir dalam dua dekade terakhir.

Padahal, momentum ramadan dan lebaran dalam kondisi normal berkontribusi terhadap 40%-45% omzet peritel secara tahunan. "Nggak pernah terjadi dalam dua dekade ini dari industri ritel, minus 20,6% saat puasa dan lebaran. Padahal sebelum pandemi, 40%-45% omzet setahun dari sana," terang Roy.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah. Selain menggambarkan suramnya kondisi industri ritel tahun lalu, kerugian HERO yang sampai Rp 1 triliun itu juga menjadi pertanda adanya peralihan pola ritel di Indonesia.

Menurutnya, ritel dengan format besar seperti supermarket atau hipermarket sangat terpukul oleh pandemi. Sebaliknya, ritel dalam skala mini market bisa bertahan, bahkan masih bisa mencatatkan pertumbuhan meski tidak signifikan.

"Karena covid, orang-orang nggak mau berkeliling lama. Maunya itu langsung datang, beli, bayar. Model muter-muter cuci mata dalam situasi ini nggak diminati, maka jadi drop," terang Budiharjo.

Ke depan, tren tersebut harus dilihat oleh para peritel berskala jumbo. Apalagi, dorongan belanja digital juga tak terhindarkan. "Orang nggak mau repot cari barang, cepat dan praktis. Ini memang tantangan dan dinamika yang harus dicari solusinya oleh para peritel seperti kami," ungkapnya.

Adapun menurut catatan Hippindo, pada tahun lalu omzet peritel turun dengan bervariasi. Untuk kategori supermarket atau hipermarket, omzet bisa merosot hingga 20%-30%. Untuk segmen fashion bisa lebih dari 50%, begitu juga kategori department store. "Yang hidup sekarang tuh yang kecil-kecil, kayak minimarket, apotek. Itu bisa stabil, bahkan tumbuh single digit," sebut Budiharjo.

Dihubungi terpisah, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengamini bahwa kerugian dari HERO juga penutupan beberapa gerainya harus dilihat dari berbagai sisi.

Pertama, adanya pelambatan ekonomi dan menurunnya konsumsi masyarakat akibat pandemi covid-19. Hal ini dialami oleh hampir semua peritel berskala besar. Kedua, pergeseran pola konsumsi masyarakat. Pandemi digital mendorong aktivitas belanja online masyarakat meningkat. Fenomena ini, harus disikapi secara serius oleh para peritel.

"Jadi transformasi digital itu suatu keniscayaan bagi semua. Yang semula mengandalkan store tatap muka, harus bertransformasi. Sehingga, paling tidak bisa mengurangi dampak pelambatan ekonomi," pungkasnya.

Hal serupa tak hanya dialami oleh HERO. Peritel lainnya seperti PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) juga mengalami penurunan pendapatan bersih hingga 52,9% menjadi hanya Rp 4,8 triliun di 2020. LPPF pun mencetak rugi yang dapat diatribusikan hingga Rp 873,18 miliar. Padahal, pada tahun sebelumnya LPPF bisa mengantongi laba yang dapat diatribusikan ke entitas induk hingga Rp 1,37 triliun.

Hingga Kuartal III-2020, pendapatan PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) juga anjlok 34,01% secara tahunan menjadi Rp 10,7 triliun. MAPI menanggung rugi bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk hingga Rp 605,33 miliar. Padahal di periode yang sama tahun lalu, MAPI masih membukukan laba Rp 642,84 miliar. 

Selanjutnya: E-commerce terus tumbuh, kontributor ekonomi digital semakin bervariasi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

×