Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian ESDM berkomitmen mewujudkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang ramah lingkungan. Sejumlah langkah telah dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan BBM ramah lingkungan yang berdampak besar mengurangi emisi gas rumah kaca serta mendukung kesehatan masyarakat.
Pelaksana Tugas Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Kementerian ESDM Mustafid Gunawan menyebutkan progres komitmen pemerintah dalam mewujudkan BBM ramah lingkungan. Di antaranya, pengembangan kilang PT Pertamina (Persero) di Plaju dan Cilacap yang sedang dalam tahap penelitian untuk memproduksi green gasoline, yaitu bensin yang dihasilkan dari campuran crude oil (85%) dan minyak kelapa sawit (15%) sebagai bahan bakunya.
Selain itu, Pertamina juga sedang uji coba membuat Green Diesel 100% tanpa bahan bakar fosil. BBM ini menggunakan bahan baku kelapa sawit dengan spesifikasi setara solar yang bersumber dari fosil, bahkan dengan kualitas yang lebih baik, yakni cetane number yang lebih tinggi dan sulfur yang jauh lebih rendah.
Inovasi ini menggunakan katalis merah putih yang merupakan katalis inovasi para ahli katalis Indonesia yang diproduksi sendiri di Indonesia. Kilang Plaju ditargetkan beroperasi pada tahun 2025 sedangkan Kilang Dumai pada tahun 2026.
Baca Juga: Kembangkan bahan bakar nabati, berikut 5 strategi pemerintah
Selanjutnya, terdapat program mandatori pencampuran 30% biodiesel (FAME) ke BBM jenis solar yang telah dimulai sejak Januari 2020.
“Program ini merupakan kelanjutan dari program B20 yang telah diterapkan sebelumnya dalam rangka menghemat devisa negara, memberdayakan para petani kelapa sawit dalam negeri, dan mengurangi penggunaan BBM jenis Solar yang berasal dari fosil," ujar Mustafid dalam siaran pers di situs Ditjen Migas Kementerian ESDM, Jumat (11/12).
Progres lainnya adalah potensi penggunaan B40 pada tahun 2021 sesuai arahan dari Presiden Joko Widodo. Saat ini, program B40 masih dalam tahap penelitian dan kajian baik dari aspek teknis, lingkungan, maupun keekonomian.
Terakhir, terdapat program pencampuran bioethanol sebesar 2% ke BBM jenis bensin dalam rangka peningkatan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Namun, saat ini program tersebut masih menemui beberapa kendala tertutama dari aspek keekonomian.
Dalam rangka mendukung implementasi BBM ramah lingkungan, terutama untuk solar CN 51, Kementerian ESDM telah menerbitkan SK Dirjen Migas No. 0234.K Tahun 2019 yang mana untuk kandungan sulfur CN 51 telah sesuai dengan ketentuan Permen LHK No. 20 Tahun 2017 yang menetapkan bahwa kandungan sulfur maksimal 50 ppm pada April 2021.
Sedangkan untuk CN 48, rencananya akan diterbitkan SK Dirjen untuk menurunkan batasan kandungan maksimal sulfur dari 2.500 ppm menjadi 2.000 ppm pada tahun 2021 dan dari 2.000 ppm menjadi 500 ppm pada 2024, serta dari 500 ppm menjadi 50 ppm pada 2026 mendatang.
Mustafid juga mengingatkan, kebijakan mengenai BBM bukan hanya urusan Kementerian ESDM semata, melainkan keputusan bersama. Hingga saat ini, RON dengan nilai oktan rendah memang masih beredar di masyarakat yang tentunya dengan berbagai pertimbangan.
"Kami sangat mengapresiasi dan mengajak masyarakat yang berkemampuan untuk beralih menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan untuk kendaraannya," tutup Mustafid.
Selanjutnya: Gara-gara corona, kebutuhan energi di tahun ini turun 16%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News