Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan tentunya ada pro-kontra dari masing-masing pilihan kenaikan tarif PPN.
Menurutnya untuk single tarif, lebih mudah secara administrasi. Tapi, dari aspek keadilannya kurang terakomodasi. Sebaliknya untuk multitarif akan mengakomodasi aspek keadilan tapi ada tantangan dari segi administrasi.
Meski begitu, Fajry mengatakan merujuk ke best practice di berbagai negara, banyak negara maju terutama negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menggunakan sistem multitarif.
Baca Juga: Sri Mulyani: Fokus kebijakan fiskal tahun 2022 ada pada pemulihan ekonomi
Tren tersebut mungkin bisa digunakan sebagai pertimbangan kebijakan tarif PPN di Indonesia mendatang.
Di sisi lain terkait GST, Fajry mengatakan semenjak Undang-Undang Nomor 11 tahun 1994 tetang PPN dan PPnBM berlaku, secara legal struktural Indonesia telah beralih dari PPN menjadi GST.
“Apakah GST lebih baik, pastinya yang broad-based lebih baik. Sesuai arah reformasi pajak di banyak negara,” ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (20/5).
Selanjutnya: Pajak penghasilan Netflix, Spotify, hingga Zoom bakal dikejar pada 2022
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News