kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Respons Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia terkait aturan baru devisa hasil ekspor


Senin, 04 Januari 2021 / 17:00 WIB
Respons Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia terkait aturan baru devisa hasil ekspor

Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Bank Indonesia (BI) telah menyempurnakan ketentuan yang mengatur tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Pembayaran Impor (DPI).

Beleid tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) no. 22/21/PBI/2020 tentang perubahan atas PBI no. 21/14/PBI/2019 terkait DHE dan DPI yang akan berlaku mulai 1 Januari 2021.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal DPP Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Toto Dirgantoro mengatakan pihaknya menyambut baik akan adanya penyempurnaan peraturan tersebut.

Namun, yang menjadi catatan Toto adalah, sebaiknya bank sentral lebih getol lagi dalam melakukan sosialisasi baik kepada para eksportir maupun pada perangkat di lapangan.

Baca Juga: Ada Program Vaksinasi, Industri Manufaktur Siap Berakselerasi

“Kami menyambut baik peraturan tersebut. Nah, kami tinggal menunggu bagaimana kesiapan BI sendiri untuk sosialisasi ke perangkatnya? Kadang-kadang, aturan baru sudah ada, tetapi petugasnya malah belum siap,” ujar Toto kepada Kontan.co.id, Minggu (3/1).

Toto lalu menjelaskan beberapa permasalahan yang acap kali terjadi di lapangan. Yaitu, terkait dalam proses Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).

Dalam PEB tersebut, eksportir sudah menyebut kalau transaksi Free On Board (FOB), tetapi kadang dalam proses para eksportir diminta untuk menunjukkan biaya pemuatan dan biaya asuransi (freight and insurance).

“Padahal kalau FOB, biaya freight dan insurance kami tidak terima dari pembeli (buyer). Kecuali kalau memang dari awal kami transaksi Cost, Insurance, dan Freight (CIF), baru betul termasuk biaya pemuatan dan asuransi,” tambah Toto.

Baca Juga: BI sempurnakan ketentuan Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor

Nah, kalau memang eksportir harus melakukan transaksi freight and insurance padahal transaksi seharusnya FOB, berarti risiko yang terjadi adalah bakal ada selisih dari nilai ekspor yang diterima dan ini akan memengaruhi nilai DHE yang dilaporkan.

Kemudian, Toto juga mengimbau agar bank sentral ikut turun ke lapangan dan mengawasi proses ekspor impor. Pasalnya, ada kekhawatiran terjadi transaksi ekspor yang menggunakan transaksi tunai, jadi tidak lewat bank.

“Seperti contohnya ada pembeli furnitur dari Korea. Kadang ada pembeli Korea datang, nongkrong, dia langsung bayar tunai barangnya. Nah, ini bakal susah laporan DHE nya karena transaksi tidak lewat bank,” ujarnya.

Baca Juga: Eximbank teken program jaminan dengan OCBC untuk akselerasi pemulihan ekonomi

Lebih lanjut, Toto juga berharap kalau pemerintah, BI, dan otoritas semakin bersatu padu dalam mempermudah proses ekspor barang. Karena menurutnya, masih banyak yang mempersulit proses ekspor, entah oknum maupun birokrasi.

Kalau ekspor bisa semakin mudah, diharapkan ekspor ini akan mampu untuk menopang proses pemulihan ekonomi nasional sehingga pertumbuhan ekonomi bisa lebih berdaya ke depannya.

Selanjutnya: Perlu Lebih Dari Sekadar Penurunan Tarif Bea Masuk Supaya RCEP Tidak Anyep

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

×