kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rencana penerapan PPN baru bisa hambat investasi masuk Indonesia


Minggu, 20 Juni 2021 / 04:45 WIB
Rencana penerapan PPN baru bisa hambat investasi masuk Indonesia

Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -   JAKARTA. Rencana pemerintah mengerek tarif sekaligus memperluas objek barang dan jasa kena pajak pertambahan nilai (PPN) bisa berdampak terhadap ekonomi. Aliran dana investor ke dalam negeri berpotensi terhambat.

Dalam draf perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% dari tarif yang berlaku saat ini 10%.

Di saat yang sama, pemerintah memberlakukan skema PPN multitarif, dengan tarif paling rendah 5% untuk barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat dan tarif tertinggi 25% untuk barang atau jasa super mewah.

Pemerintah pun berencana memperluas objek PPN termasuk barang kebutuhan pokok atau sembako dan barang pertambangan serta beberapa jenis jasa, seperti jasa pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, juga pendidikan.

Baca Juga: Wamenkeu Suahasil Nazara beberkan rencana pengenaan tarif sembako ke Bank Dunia

Tapi, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Noor mengatakan, pemerintah masih melakukan kajian dan belum menyimpulkan dampak rencana kebijakan PPN terhadap investasi.

"Masih dalam kajian teman-teman di Kemenkeu dan instansi terkait," katanya kepada KONTAN, Jumat (18/6).

Saat ini, pemerintah masih menunggu jadwal dari DPR untuk pembahasan Rancangan UU (RUU) KUP.

Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Herman Juwono menyebutkan, dalam jangka pendek, rencana itu akan berdampak terhadap penurunan investasi bila diimplementasikan di 2022 atau 2023.

Menurutnya, jika secara umum tarif PPN naik 2%, maka akan menyumbang tambahan inflasi 2%. Hal tersebut berkaca dari kondisi Arab Saudi yang pada tahun lalu mengerek tarif value added tax (VAT) dari 10% menjadi 15% dan berefek pada lonjakan inflasi hampir 6%.

Oleh karena itu, "dikhawatirkan pemulihan ekonomi tidak bisa tercapai, kalau digenjot dengan pajak lagi maka makin parah. Hingga saat ini belum terlihat adanya optimisme bahwa ekonomi akan pulih, seiring kenaikan kasus harian saat ini," ujar Herman kepada KONTAN, kemarin.

Baca Juga: Tidak masalah sembako dikenakan PPN, berikut penjelasan Hipmi

Kalau penanganan pandemi Covid-19 lambat disertai dengan pelemahan daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN, Herman menegaskan, tentu investor akan menahan aliran dananya. Karena itu, kebijakan ini bisa jadi buah simalakama bagi perekonomian dalam negeri.

Di sisi lain, pemerintah tengah berupaya untuk menarik investasi lewat implementasi UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.

Berdampak pada EoDB 

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Sapto menilai, rencana kenaikan PPN akan menjadi beban bagi sektor pertambangan, seperti minyak mentah, nikel, dan logam mineral lainnya.

Pemerintah kemungkinan akan membanderol tarif PPN sebesar 12% atau tarif normal seperti batubara yang sudah lebih dulu terkena PPN begitu UU Cipta Kerja berlaku.

Baca Juga: Wakil Rakyat Mengusulkan Aturan Pajak Bermasalah Dihapus di RUU KUP

Ekonom Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Teuku Riefky berharap, pemerintah bisa memegang komitmen kebijakan PPN difokuskan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak bagi orang kaya raya.

Sedangkan tarif pajak lebih rendah diberikan untuk masyarakat miskin dan menengah. Sehingga, dia menambahkan, kebijakan PPN yang bertujuan untuk mempersempit defisit bisa mendapat respons positif dari investor.

Selanjutnya: In jenis sembako yang bisa kena PPN hingga 12%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×