kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.932   28,00   0,18%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

PLTU Pelabuhan Ratu, Bukit Asam (PTBA) Berpotensi Pegang Mayoritas Kepemilikan


Rabu, 19 Oktober 2022 / 07:00 WIB
PLTU Pelabuhan Ratu, Bukit Asam (PTBA) Berpotensi Pegang Mayoritas Kepemilikan

Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - NUSA DUA. Kementerian BUMN bersama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN memastikan program pensiun dini PLTU di Indonesia akan terus dilanjutkan. Hal ini seiring dengan upaya mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 mendatang.

Sekadar informasi, Selasa (18/10), PLN dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menandatangani Principal Framework Agreement (PFA) untuk mempercepat masa pensiun PLTU Jawa Barat-2 atau dikenal dengan PLTU Pelabuhan Ratu yang berkapasitas 3x350 MW.

Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury mengatakan, PFA yang melibatkan PLN dan PTBA levelnya sudah lebih tinggi ketimbang sekadar Memorandum of Understanding (MoU). Dalam perjanjian seperti ini, sudah ada penetapan struktur, pihak yang terlibat, dan alur transaksinya.

Proses valuasi PLTU Pelabuhan Ratu saat ini masih terus dilakukan oleh PTBA. Nantinya, PTBA akan menjadi pemilik sebagian besar PLTU tersebut yang sebelumnya dipegang oleh anak usaha PLN, yaitu PT Indonesia Power.

Baca Juga: Soal Percepatan Pensiun Dini PLTU Pelabuhan Ratu, Begini Kata Pengamat

“Nanti, tidak tertutup kemungkinan Indonesia Power tidak lagi menjadi pemilik mayoritas saham PLTU tersebut,” kata Pahala saat konferensi pers SOE International Conference, Selasa (18/10).

Dengan PFA ini, diharapkan PTBA dan Indonesia Power akan membuat perusahaan gabungan atau joint venture (JV) untuk mengoperasikan PLTU Pelabuhan Ratu yang kini masa operasinya hanya sampai 15 tahun saja, dari sebelumnya 24 tahun.

Untuk bisa menyukseskan agenda tersebut, kata Pahala, diperlukan adanya Power Purchase Agreement (PPA) yang baru. Kemudian, dibutuhkan juga persetujuan dari kementerian terkait seperti Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. Maklum, aspek finansial punya peranan penting dalam program pensiun dini sebuah PLTU.

“Kita ingin dunia internasional juga melihat upaya yang sudah dilakukan ini dan mendukung dalam pembiayaan energy transition mechanism (ETM) yang memungkinan penurunan masa operasi PLTU tersebut bisa dilakukan,” ungkap Pahala.

Direktur Transmisi dan Sistem PLN Evy Haryadi menambahkan, sampai tahun 2040 nanti setidaknya ada sekitar 6,7 GW kapasitas PLTU yang akan dipensiunkan. Dari situ, sebanyak 3,2 GW di antaranya bersifat natural retirement, sedangkan sisanya sebanyak 3,5 GW adalah early retirement atau pensiun dini.

Baca Juga: PLN Tawarkan Investasi Pengembangan 2 Proyek PLTS Terapung

Ia juga menyebut, selain PLTU Pelabuhan Ratu, PLN juga berencana memensiunkan lebih cepat PLTU Pacitan. “Untuk PLTU di Pacitan masih dalam proses pencarian investor, termasuk investor internasional,” kata dia ketika ditemui Kontan dalam acara yang sama, hari ini.

Evy bilang, Kebutuhan dana untuk memensiunkan kedua PLTU tersebut mencapai kisaran US$ 1,6 miliar, di mana khusus PLTU Pelabuhan Ratu butuh dana sebesar US$ 800 juta.

Ia juga menjelaskan, dengan adanya kondisi oversupply listrik yang dialami PLN, maka tidak memungkinkan bagi PLN untuk memasukan berbagai pembangkit termasuk yang berbasis energi terbarukan ke dalam sistemnya. Untuk itu, harus ada yang dikorban. Makanya, program pensiun dini PLTU ditempuh oleh PLN bersama pemerintah.

Jika tidak ada program pensiun dini PLTU, maka Indonesia masih harus menunggu sampai tahun 2056 untuk mematikan PLTU secara natural ketika kontrak pembangkit tersebut berakhir.

“PLTU terakhir yang masuk ke sistem PLN adalah PLTU Suralaya 9-10 pada tahun 2026. Kalau natural retirement, maka baru bisa berhenti beroperasi di 2056 karena rata-rata kontrak dengan IPP itu 30 tahun,” pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×