Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan syariah sempat dinilai ketinggalan jaman secara teknologi maupun dalam pemberian layanan digital. Persepsi ini kian tertanam, karena perkembangan teknologi di sektor perbankan syariah jauh lebih lambat dibandingkan bank konvensional.
Kendati demikian, perbankan syariah mulai sadar diri melakukan perubahan dari aspek teknologi dan digitalisasi. Ini sebagai strategi untuk bisa bertahan dan memiliki bisnis yang berkelanjutan.
Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Hery Gunardi menyatakan digitalisasi ini semakin mendesak untuk dipenuhi mengingat peta persaingan industri keuangan saat ini makin terdisrupsi oleh keberadaan fintech. Oleh sebab itu, ia menghimbau perbankan syariah harus memiliki kapasitas digital yang memadai.
“Bila ingin bersaing di masa mendatang, maka layanan digitalisasi harus dilakukan. Maka, sudah sepantasnya memiliki kemampuan digital yang mumpuni baik untuk layanan ATM dan mobile banking ujar Hery belum lama ini.
Hery yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Bank Syariah Indonesia (BSI) menyatakan layanan berbasis serba digital ini mampu menawarkan layanan keuangan yang lebih inklusif, cepat, dan sederhana. Di sisi lain, bank bank digital bermunculan dengan kapasitas bisa memberi layanan yang lebih efisien sehingga perlu diantisipasi oleh bank syariah.
“Industri perbankan syariah berhasil bertahan selama pandemi, namun perlu mengantisipasi berbagai tantangan akibat perubahan yang akan terjadi khususnya perilaku nasabah akibat digitalisasi yang akan semakin masif. Perbankan syariah dituntut untuk berevolusi memberikan layanan beyond banking dan banking everywhere,” paparnya.
Baca Juga: Kembangkan Bisnis Internasional, BSI Bakal Rilis Layanan BSI Mobile untuk Diaspora
Adapun Pengamat Ekonomi Syariah IPB University, Irfan Syauqi Beik mengakui masih ada persepsi masyarakat yang menilai kemampuan teknologi bank syariah masih ketinggalan. Padahal, ia menilai digitalisasi perbankan syariah sudah mulai berkembang.
“Masyarakat melihat perbankan syariah seolah kondisi 10 hingga 15 tahun yang lalu masih sama dengan sekarang. Padahal saat ini, sudah ada beberapa bank syariah besar, kemampuan teknologi digital mereka sudah pada level yang sangat advance,” ujarnya kepada Kontan.co.id.
Kendati demikian, ia mengakui masih ada bank syariah yang masih relatif tertinggal. Namun secara keseluruhan, digitalisasi dan teknologi bank syariah sudah meningkat.
“Nah persepsi ini yang perlu untuk terus menerus diubah dan diperbaiki. Di sinilah peran digital marketing-nya bank syariah menjadi sangat penting. Selain itu, literasi perbankan syariah masyarakat, meski naik” tambahnya.
Rendahnya literasi perbankan syariah inilah menjadi faktor penyebab masyarakat masih enggan menggunakan bank syariah. Namun, ia melihat data yang ada, jumlah pengguna dan jumlah transaksi yang menggunakan layanan atau platform digital bank syariah juga meningkat.
“Saya juga menyarankan agar bank syariah terus menerus meningkatkan kualitas teknologi yang dimilikinya agar terus relevan dengan kebutuhan publik,” jelasnya.
Melihat hal ini, Bank Syariah sudah mulai berbenah diri dan melakukan transformasi digitalisasi. Bank Syariah Indonesia (BSI) misalnya, kian gemar melakukan transformasi di ranah teknologi.
Hery Gunardi menyatakan langkah ini diambil agar BSI semakin dikenal sebagai bank yang modern, maju, dan semakin digital. Sedangkan Direktur Information Technology BSI Achmad Syafi’i mengatakan transformasi digital yang dilakukan oleh perseroan juga membidik ekosistem islami (islamic ecosystem).
“BSI melalui layanan digital, juga mengoptimalkan application programming interface (API) sehingga BSI bisa memberi layanan bank as service. Sehingga, mitra dan nasabah yang ada di islamic ecosystem bisa menikmati layanan digital BSI,” paparnya.
Salah satunya dengan menambah berbagai fitur pada aplikasi BSI Mobile. BSI memberikan layanan pembuka rekening simpanan secara digital, top up e-wallet, pembiayaan multiguna online bagi ASN, layanan ZISWAF, Tarik tunai dan layanan emas.
BSI juga menggandeng mitra strategis dalam mengembangkan layanan digital seperti Grab dan Fastpay. Selain itu, pengguna LinkAja Syariah bisa melakukan tarik tunai di 2.497 unit AMT milik BSI yang terbesar di seluruh Indonesia.
Berkat kerja keras itu, BSI berhasil mencatatkan transaksi digitalisasi melalui BSI Mobile mencapai 187,20 juta transaksi hingga September 2022. Transaksi mobile banking, berkontribusi memberikan pendapatan berbasis komisi atau fee based income sebesar Rp 173 miliar bagi perseroan.
“Layanan digital BSI memberikan kontribusi Rp 664 miliar atau 24% dari total fee based income BSI,” paparnya.
Hal ini tak terlepas dari pergeseran kebiasaan nasabah dalam bertransaksi. Sebab, 97% dari nasabah bank syariah terbesar ini telah beralih menggunakan e-channel untuk beraktivitas perbankan.
Per September 2022, BSI mencatat jumlah user pengguna BSI Mobile mencapai 4,44 Juta pengguna, naik sebesar 43% secara year on year (YoY). Jumlah pengguna yang semakin meningkat tersebut dipengaruhi oleh perubahan perilaku masyarakat yang mulai beralih ke e-channel BSI Mobile, ATM maupun Internet Banking.
Tak hanya BSI, bank syariah lainnya semakin sadar akan pentingnya melakukan digitalisasi. Beruntung bagi unit usaha syariah (UUS) bisa mengandalkan layanan digital milik induknya seperti CIMB Niaga Syariah lewat OCTO Mobile maupun PermataBank Syariah lewat Permata Mobile X.
Tak sampai disitu, bank yang memiliki kapasitas besar juga menggandeng bank dengan skala yang lebih kecil dalam melakukan inovasi layanan digital. UUS PT Bank Permata Tbk misalnya n menghadirkan layanan digital bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Melalui inovasi digital ini, PermataBank Syariah berharap dapat meningkatkan secara khusus pertumbuhan bisnis BPRS dan juga keuangan syariah di Indonesia di era digitalisasi perbankan saat ini.
Pertumbuhan industri syariah khususnya Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Salah satunya, kehadiran fintech telah menimbulkan disrupsi bagi pelaku industri keuangan di dalam negeri.
Baca Juga: PermataBank Kucurkan Fasilitas Pembiayaan Syariah untuk Link Net Rp 1,5 Triliun
Dari sisi regulasi, infrastruktur teknologi, dan sumber daya manusia juga masih jadi tantangan besar. Namun di sisi lain, perkembangan ekonomi syariah di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk berkembang jika diimbangi dengan kemajuan keuangan syariah secara digital.
Berdasarkan data OJK, total aset keuangan syariah di Indonesia pada Desember 2020 mencapai Rp 1.802,86 triliun dengan market share 9,9%.
Aset tersebut meliputi aset perbankan syariah sebesar Rp 608,9 triliun, industri keuangan non-bank (IKNB) syariah sebesar Rp 116,3 triliun dan pasar modal syariah Rp 1.077,6 triliun. Pertumbuhan aset keuangan syariah ini mencapai 22.79% secara YoY.
Melihat potensi dan optimisme tersebut, PermataBank Syariah berupaya menjadi yang terdepan dalam menghadirkan layanan syariah secara digital bagi BPRS.
Melalui paket layanan digital dari PermataBank Syariah, BPRS akan mendapatkan kemudahan dalam melakukan transfer in & transfer out dari dan ke bank lain, baik Bank Umum konvensional dan syariah, unit usaha syariah, serta BPRS lainnya.
Lalu bisa menikmati kemudahan pembayaran tagihan berbasis virtual account dengan menggunakan fitur Bill Payment dan pembukaan rekening secara online dengan API baik melalui Website maupun melalui aplikasi nasabah.
Herwin Bustaman, Direktur Unit Usaha Syariah PermataBank mengatakan, paket layanan digital yang dihadirkan oleh PermataBank Syariah diharapkan dapat menjadi solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh BPRS saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News