kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengusaha tambang harus bersiap hadapi aturan baru perpajakan batubara


Senin, 02 November 2020 / 06:00 WIB
Pengusaha tambang harus bersiap hadapi aturan baru perpajakan batubara

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

Sementara untuk penerimaan negara dari PKP2B generasi 1+, ialah: (1) royalti 3%, 5%, atau 7% dan (2) EAT sebesar 10% dengan porsi 6% untuk daerah dan 4% untuk pusat.

"Di sini kalau menjadi WPN, tentunya royalti turun seperti IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang sekarang," kata Irwandy.

Sebagai gambaran, dari PKP2B eksisting saat ini dengan DHPB sebesar 13,5% maka proporsi perbandingan penerimaan negara sebesar 67,84% dan perusahaan 32,16% , dengan total penerimaan negara US$ 2,63 miliar.

Jika PKP2B diperpanjang, DHPB diusulkan naik dari 13,5% menjadi 15%. Jika tidak, berlaku ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan yakni royalti 3%, 5%, dan 7%.

Proporsi penerimaan negara dibanding perusahaan meningkat dari kondisi eksisting menjadi 79,01% : 20,99% saat PKP2B diperpanjang. Jika tidak, maka akan turun dari kondisi eksisting menjadi 57,57% untuk penerimaan negara : 42,43% untuk perusahaan.

Baca Juga: Inilah reformasi pajak dalam UU 2/2020 dan UU Cipta Kerja

Merujuk paparan yang disampaikan Irwandy, ketika PKP2B eksisting diperpanjang terdapat potensi peningkatan penerimaan negara dari kondisi eksisting sekitar US$ 435 juta per tahun. Jika tidak diperpanjang, terdapat potensi loss penerimaan negara sekitar US$ 834 juta per tahun.

Selain itu, jika diperpanjang, ada kepastian atas investasi jangka panjang perusahaan. Terdiri dari investasi infrastruktur sebesar US$ 2,5 miliar, eksplorasi US$ 364,56 juta dan hilirisasi sebesar 3,4 miliar.

Secara aturan, peningkatan penerimaan negara memang menjadi syarat wajib bagi perpanjangan PKP2B menjadi IUPK OP. Hal itu sebagaimana sudah diatur dalam UU No. 3 Tahun 2020 Pasal 169 A (1) dan (2).

Sekadar mengingatkan, PP soal perpajakan batubara ini sejatinya bukan lah hal yang baru. Pada akhir 2018 hingga awal 2019 lalu, publik sempat dihebohkan akan adanya paket PP batubara.

Yakni perubahan keenam PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba, serta PP tentang perlakuan perpajakan dan penerimaan negara dalam bidang usaha pertambangan batubara.

Sempat menjadi polemik, akhirnya paket PP itu menguap hingga revisi UU Minerba disahkan pada 12 Mei lalu. Untuk revisi keenam PP No. 23 tahun 2010 jelas sudah terkubur oleh revisi UU Minerba. Namun, untuk PP perpajakan batubara, para pelaku usaha masih menagih kepastian.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menegaskan, PP perlakuan perpajakan batubara tersebut sangat mendesak untuk diterbitkan.

Sebab, perlakuan perpajakan itu sangat menentukan prospek keekonomian dari investasi jangka panjang para pemegang PKP2B generasi pertama pasca konversi menjadi IUPK OP.

"Penting juga untuk menjadi dasar perhitungan kewajiban perpajakan bagi perusahaan serta bagi penerimaan negara," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Minggu (1/11).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

×