Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha batubara, khususnya para pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) harus bersiap menghadapi pengaturan baru terkait kewajiban penerimaan negara.
Pemerintah pun segera menerbitkan regulasi khusus dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) tentang perlakuan perpajakan di sektor usaha pertambangan batubara, yang saat ini sudah ada di meja Presiden Joko Widodo.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyampaikan, PP tersebut menunggu ditanda tangani oleh Presiden. Meski belum membeberkan isi dari PP itu, tapi Yustinus mengklaim bahwa isi dari beleid tersebut akan memberi kepastian hukum bagi pemerintah dan pelaku usaha.
"PP sedang proses penandatanganan oleh Presiden. Semoga segera (terbit). Isinya banyak yang diatur, ditunggu saja," kata Yustinus saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (1/11).
Baca Juga: Apa saja reformasi pajak yang diatur dalam UU 2/2020 dan UU Cipta Kerja?
Yang pasti, PP perlakuan perpajakan untuk sektor usaha batubara itu akan dikenakan kepada PKP2B yang habis kontrak dan berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Asal tahu saja, kontrak PKP2B milik PT Arutmin Indonesia berakhir tepat pada hari ini, 1 November 2020.
Jika permohonan Arutmin dikabulkan pemerintah, maka anak usaha dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI) itu akan mengantongi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian.
Meski IUPK Arutmin terbit lebih dulu ketimbang PP perpajakan batubara, tapi nantinya kewajiban penerimaan negara yang harus disetorkan Arutmin tetap mengacu pada PP tersebut.
Yustinus memastikan, PP perpajakan batubara ini telah mengikuti aturan dalam UU No. 3 Tahun 2020 alias UU Minerba, yang mensyaratkan penerimaan negara harus lebih besar saat PKP2B berubah status menjadi IUPK.
Penerimaan negara di sini adalah pajak dan juga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). "Iya diatur demikian sesuai UU Minerba. Mengikuti PP. Berlaku sejak kontrak (IUPK) baru ditandatangani," tegas Yustinus.