kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha sebut suku bunga kredit jadi masalah bagi investor domestik


Senin, 01 Februari 2021 / 04:15 WIB
Pengusaha sebut suku bunga kredit jadi masalah bagi investor domestik

Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan masalah investor domestik saat ini yakni sumber finansial dan keterjangkauan nilai investasi yang dikeluarkan dalam kondisi pandemi.  Menurutnya, akses terhadap pembiayaan investasi seperti suku bunga kredit usaha riil menjadi kendala utama.

“Kalau mau investor domestik kembali investasi secara maksimal, pemerintah harus memberikan insentif/stimulus di sisi kredit usaha dan memastikan agar akses pendanaan investasi terbuka luas untuk semua sektor usaha dan skala usaha di Indonesia,” kata Shinta kepada Kontan.co.id, Minggu (31/1).

Untuk itu, Shinta berharap pemerintah dan otoritas terkait bisa mendorong perbankan untuk memberikan suku bunga kredit rendah, bukan hanya kepada sektor atau level usaha tertentu yang saat ini dianggap aman, risiko rendah, atau profitable bagi perbankan. 

Baca Juga: DRI perkirakan inflasi Januari 2021 sebesar 0,35% mom

“Suku bunga kredit usaha riil-nya pun harus diturunkan secara signifikan agar biaya pinjaman untuk investasi menjadi lebih affordable untuk pelaku usaha nasional, khususnya pelaku usaha di sektor yang memang masih terjepit oleh kondisi pandemi,” ujar Shinta 

Menurut Shinta, bila hal itu tak kunjung diimplementasikan maka investor domestik akan wait and see sampai pasar kembali pulih untuk melakukan ekspansi usaha atau investasi lebih lanjut. Apalagi saat ini pemerintah masih terus-menerus memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sehingga demand belum sepenuhnya pulih.

“Investor dalam negeri pun perlu memikirkan proyeksi normalisasi ekonomi di tingkat nasional dan tempat usahanya juga terhadap kinerja pasca investasi agar pengeluaran investasinya tidak sia-sia. Jadi normalisasi ekonomi juga krusial untuk menggenjot kinerja investasi,” kata Shinta.

Meski begitu, Shina menilai umumnya investor dalam negeri lebih confident untuk kembali berinvestasi sejak Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan pada tahun lalu. Kondisi ini terlihat dari realisasi investasi yang pada kuartal IV-2020 yang didominasi oleh investor dalam negeri.

Baca Juga: Pemerintah akan pungut pajak penjualan pulsa, kartu perdana, juga token listrik

Mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada kuartal IV-2020 sebesar Rp 103,6 triliun, tumbuh 0,8% year on year (yoy). Bahkan sepanjang tahun lalu, PMDN telah berkontribusi sebanyak 50,1% dari total investasi 2020 sejumlah Rp 826,3 triliun.

Di sisi lain, Shinta mengatakan untuk investor asing memang masih banyak yang belum kembali investasi di Indonesia dengan berbagai faktor. Umumnya karena masalah stabilitas penerimaan jangka panjang, kekhawatiran terhadap kelancaran biaya supply chain yang tinggi di massa pandemi, dan penurunan profitability sepanjang pandemi. 

Hanya, Shinta menganggap hal tersebut wajar, sebab hampir semua perusahaan yang ekspansi ke luar atau multinational companies (MNCs) membiayai investasi di negara baru dengan profit yang didapat saat ini lebih sedikit dibanding dengan era sebelum pandemi. 

Selain itu, ada juga faktor penilaian pembiayaan investasi di Indonesia dari bank asing yang akan turut memberikan dampak terhadap keputusan investasi di Indonesia oleh investor asing. 

Singkatnya, banyak perhitungan investasi yang perlu dilakukan investor asing, khususnya terkait pembiayaan investasi, efisiensi supply chain, stabilitas operasi dan supply chain pasca investasi dan proyeksi revenue/profitabilitas pasca investasi. 

“Ini faktor-faktor investasi yang tidak bisa dikompensasi hanya dengan insentif fiskal atau insentif investasi saja, harus dengan pembenahan struktural di Indonesia agar kinerja pasca investasi betul-betul memuaskan investor. Bukan malah menjadi terganggu atau semakin memusingkan investor pasca melakukan realisasi investasi di Indonesia,” kata Shinta. 

Baca Juga: Simak respon operator telekomunikasi soal PPN dan PPh pulsa dan kartu perdana

Selain itu, Shinta menyampaikan banyak aspek yang harus terus dibenahi oleh pemerintah agar iklim usaha nasional pasca UU Cipta Kerja agar iklim usaha di Indonesia betul-betul optimal dan menarik di mata investor asing. Dus, UU CK  adalah langkah awal pembenahan struktural terhadap inefisiensi iklim usaha dan investasi nasional. 

Setelah, UU Cipta Kerja banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi secara struktural dan aspek ekonomi lain yang belum efisien. Misalnya mismatch pada domestic supply chain, inefisiensi biaya logistik nasional, logistik perdagangan internasional. Kemudian, masalah kurangnya skilled workers yang semakin penting dan dicari pasca Covid-19.

Lalu, masalah besaran ICOR, biaya pinjaman suku bunga kredit usaha, harga energi dan tingkat produktifitas pekerja. “Yang kalau dibandingkan dengan negara-negara ASEAN-5 lain kita masih nomor 1 atau nomor 2 paling mahal dan paling tidak efisien di kawasan,” ujar Shinta.

Selanjutnya, masalah penegakan hukum yang masih ambigu dan tidak memberikan kepastian usaha di berbagai isu investasi penting seperti dalam hal perpajakan, perlindungan HAKI, kompetisi usaha, peran BUMN belum tentu efisien, dan sebagainya.

“Selain itu, ada faktor pembenahan birokrasi yang belum selesai. Perlu juga segera dibenahi secara struktural agar birokrasi kita lebih efisien, traceable, konsisten antara nasional-daerah, transparan dan komunikatif melalui dialog yang konsisten dan kontinyu dengan pelaku usaha nasional dan asing, serta responsif kepada calon investor di luar negeri agar menciptakan confidence investasi,” tutup Shinta.

Selanjutnya: Cukai Minuman Berpemanis Kembali Digadang, KINO Bakal Antisipasi dengan Efisiensi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×