Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Handoyo .
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, pertumbuhan permintaan solar panel di dunia cenderung tumbuh pesat. Sayangnya, dia mengungkapkan produksi tenaga surya di Indonesia sendiri masih cenderung lambat dibandingkan China, India dan Vietnam.
"Kapasitas yang terpasang saat ini baru kisaran 200 mega watt, padahal PLTS diyakini akan tumbuh pesat dalam beberapa dekade ke depan mengalahkan industri listrik," kata Fabby kepada Kontan, Rabu (21/4).
Meskipun begitu, jika menilik dalam dua tahun terakhir Fabby mengungkapkan segmen bisnis dan komersial building sudah mulai banyak yang menggunakan panel surya sejak 2019. Salah satunya juga didorong aksi beberapa perusahaan multinasional seperti Coca Cola dan Danone yang menggunakan panel surya di pabriknya.
Seiring pertumbuhan PLTS, dia menjelaskan kalau biaya investasi panel surya sudah lebih murah. Bahkan tak jarang beberapa perusahaan memilih beralih menggunakan panel surya sebagai strategi bisnisnya, khususnya bagi perusahaan batubara yang mulai melirik bisnis panel surya untuk diversifikasi.
Selanjutnya, Fabby mengungkapkan kapasitas produksi solar panel domestik berkisar 500 MW per tahun. Dimana tingkat utilisasi masih sangat rendah, dengan modul solar panel buatan dalam negeri lebih mahal 40% dibandingkan modul impor.
"Kalau gunakan modul domestik, harga rata-rata US$ 28 sen hingga US$ 30 sen per watt pick. Sedangkan kalau impor produk tiruan dari luar negeri bisa US$ 20 sen per watt pick, bahkan bisa US$ 16 sen hingga US$ 18 sen per watt pick kalau skala besar," papar Fabby.
Alasan harga modul luar negeri bisa lebih murah, lantaran industri panel surya di luar negeri sudah terintegrasi dari hulu hingga hilir, khususnya di China. Dengan begitu, harga antara produk domestik dan luar negeri masih sangat kompetitif.
Di sisi lain, Len Industri kabarnya tengah melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan salah satu perusahaan di China, untuk bisa membangun pabrik solar panel. Rencana tersebut disambut baik oleh Fabby, dengan harapan bisa memangkas biaya pemanfaatan solar panel di Tanah Air.
"Tapi untuk bersaing harga atau sama dengan kalau impor modul dari China rasanya sulit, karena mereka sudah terintegrasi mulai dari silika, ingot, wafer, sel, modul dan industri pendukungnya. Sedangkan di sini mungkin baru sel dan modul suryanya, jadi rasanya belum mendukung, kecuali kita bisa bangun mulai dsri industri hulunya," jelasnya.
Menurut hitungannya, Fabby memprediksi kapasitas produksi atau kebutuhan solar panel di 2022 bisa meningkat 1 GigaWatt (GW) dibandingkan saat ini yang masih di 500 MW. Apalagi dengan permintaan dari komersial industri dan rumah tangga yang diproyeksi naik, disertai proyek beberapa proyek Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa berjalan mulus, maka kapasitas tahun ini saja sudah bisa meningkat.
"Kalau proyek-proyek PLN jalan, yang di Cirata, Bali jalan, itu kebutuhan bisa 700 MW - 800MW dan kemungkinan 2022 bisa 1GW," tandasnya.
Selanjutnya: Transisi energi perlu akselerasi untuk mengejar target bauran EBT 23%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News