kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.199   57,86   0,81%
  • KOMPAS100 1.105   10,32   0,94%
  • LQ45 877   10,94   1,26%
  • ISSI 221   0,89   0,40%
  • IDX30 448   5,61   1,27%
  • IDXHIDIV20 539   4,64   0,87%
  • IDX80 127   1,22   0,97%
  • IDXV30 135   0,58   0,43%
  • IDXQ30 149   1,55   1,05%

Transisi energi perlu akselerasi untuk mengejar target bauran EBT 23%


Selasa, 13 April 2021 / 11:35 WIB
Transisi energi perlu akselerasi untuk mengejar target bauran EBT 23%

Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan pelaku industri menyadari perlu ada akselerasi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia serta butuh insentif demi bersaing dengan energi fosil. Indonesia menargetkan mencapai bauran EBT sebesar 23% hingga 2025 dan hingga 2020 realisasi bauran EBT hanya sebesar 11.2% atau 10.6 GW, sementara itu target 2025 sebesar 24 GW 2025.

Ketua Umum Kadin Rosan P. Roeslani mengatakan biaya pembangkitan EBT terus turun dari tahun ke tahun. Ditambah lagi potensi EBT di Indonesia sangat besar, seperti panas bumi, angin dan air.

“Transisi energi merupakan sebuah keniscayaan, namun dibutuhkan insentif dari pemerintah,” kata Rosan pada webinar Energy and Mining Editor Society (E2S) bertema "Collaboration to Accelerate Investment, Innovation and Technology in the Energy and Mineral Resources Sector,  Senin (12/4). 

Rosan juga mengatakan pemerintah berusaha secara bertahap menekan defisit migas dengan melakukan buram energi dari batu bara ke EBT. Apalagi EBT akan melampaui energi fosil pada 2050. 

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial, mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif,  mengatakan pemerintah terus mendorong pengembangan EBT. “Saat ini masih disiapkan rancangan Perpres pembelian tenaga listrik EBT,” kata Ego.

Purnomo Yusgiantoro, Menteri ESDM Periode 2000 – 2009, menyatakan transisi energi terkait erat dengan dua faktor, yaitu teknologi dan keekonomian. Purnomo mengindikasikan biaya pembangkitan EBT masih kurang bersaing dibanding biaya pembangkitan energi batubara, terutama di wilayah Jawa. 

Baca Juga: Incar pendapatan 50% dari sektor non batubara di 2025, INDY alokasikan US$ 500 juta

“Transisi energi membutuhkan bridging fuel, contohnya gas dan batubara yang menggunakan teknologi ramah lingkungan,” kata Purnomo.

Sementara itu, Martiono Hadianto, Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), mengatakan perlunya kolaborasi antarsektor mulai dari sumber daya, pendidikan, perindustrian, perdagangan. "Pendidikan menjadi akar dari penguasaan teknologi dan inovasi," katanya. 

Rektor Institut Teknologi PLN Iwa Garniwa menyoroti soal target bauran energi 23% pada 2025. Padahal realisasi hingga 2020 hanya 11,2%. "Saya perkirakan capaian pada 2025 maksimal tambahannya delapan persen jadi realistisnya 19-20%," kata Iwa.

Sejumlah pelaku industri berbasis batubara sudah mulai menjajaki potensi EBT. Contohnya, PT Indika Energy Tbk, yang mempunyai visi mencatatkan 50% pendapatan dari non-batubara pada 2025. PT Indika Energy Tbk membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di wilayah anak usahanya, PT Kideco Jaya Agung (Kideco), di Paser, Kalimantan Timur.

“Aspek keekonomian EBT dan teknologi baterai semakin murah setiap tahun, hal ini dapat mengakselerasi pengembangan EBT,” kata Arsjad Rasjid, Direktur Utama Indika.

Selanjutnya: Rantai Pasok EBT untuk Pemulihan Ekonomi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×