kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Pengamat Sebut Kebijakan Penetapan Harga Pertalite Perlu Diubah


Rabu, 18 Mei 2022 / 10:00 WIB
Pengamat Sebut Kebijakan Penetapan Harga Pertalite Perlu Diubah

Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mekanisme penetapan harga  bahan bakar minyak (BBM) terutama Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBBKP), yaitu Pertalite perlu diubah.  Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan saat ini transparansi sangat diperlukan dalam penetapan harga BBM terutama Penugasan. 

Pasalnya saat ini tren harga minyak mentah dunia yang masih bertahan di atas level US$ 100 per barel membuat badan usaha harus menyiapkan dana besar dalam menjalankan penugasan pemerintah untuk pengadaan BBM yang didistribusikan ke masyarakat.

Adapun saat ini badan usaha disebutkan oleh pemerintah bakal  mendapatkan penggantian dari subsidi maupun kompensasi. Namun badan usaha harus menanggung selisih harga yang dijual ke konsumen karena harga  Pertalite yang menjadi BBM Penugasan masih jauh di bawah  harga keekonomian. Adapun kompensasi kepada badan usaha yang menjual BBM Penugasan masih belum ada kepastian kapan dibayarkan.  

"Pemerintah perlu fair saja saya kira. Dihitung bersama berapa harga wajarnya (BBM Penugasan) kemudian pemerintah memberikan kompensasi terhadap selisih harga penetapan dengan harga wajar tersebut," kata Komaidi dalam keterangan tertulis,  Selasa (17/5).

Baca Juga: Jaga Ekonomi, Menteri ESDM Pastikan Harga Pertalite dan Tarif Listrik Belum Akan Naik

Pemerintah sebelumnya menetapkan Pertalite menjadi JBBKP menggantikan bensin RON 88 atau Premium. Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 tentang Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan yang diteken 10 Maret 2022. 

Kuota Pertalite awalnya ditetapkan 23,05 juta kiloliter (KL). Namun, dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR pada 13 Maret 2022, Menteri ESDM Arifin Tasrif disepakati kuota Pertalite tahun ini ditambah 5,4 juta KL sehingga  total menjadi 28,50 juta KL. Adapun Solar  Subsidi ditambah 2,29 juta KL menjadi 17,39 juta KL. 

Sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022, dinyatakan bahwa wilayah penugasan penyediaan dan pendistribusian JBKP meliputi seluruh wilayah NKRI.

Adapun harga eceran JBKP untuk jenis bensin RON 90 di titik serah, setiap liternya ditetapkan sebesar Rp 7.650, sudah termasuk PPN dan PBBKB. Padahal harga keekonomian Pertalite saat ini menembus level Rp 13.000 per liter. 

Saat ini, harga jual Pertalite yang dijual di SPBU Pertamina jauh lebih murah dibandingkan  pesaing, yang sama-sama menjual BBM dengan kadar oktan 90. Per Mei 2022, BP-AKR menjual BP 90 sebesar Rp 12.860 per liter, naik dari Rp 12.500 per liter pada April 2022. Ini artinya, ada perbedaan harga BP 90 sebesar Rp 5.200 per liter dibandingkan harga jual Pertalite. 

Baca Juga: Sejumlah Perusahaan Batubara Ajukan Revisi RKAB

Harga jual JBBKP produk Pertamina ini juga jauh lebih murah ketimbang harga bensin yang dijual oleh Vivo, yaitu Revvo 89, sebesar Rp 12.400 per liter. Padahal Revvo 89 adalah bensin dengan kadar oktan 89, di bawah Pertalite. 

Menurut Komaidi, penggunaan formula yang tepat akan menghasilkan harga JBBKP yang sesuai dengan keekonomian. "Untuk harganya saya kira tidak jauh dengan harga pesaing untuk RON yang sama," ujarnya.

Doktor Kebijakan Publik dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti itu mengatakan pendistribusian BBM Penugasan maupun Solar Subsidi akan jadi pekerjaan rumah tidak pernah selesai selama mekanismenya masih diberikan ke komoditas.

Dia menilai, penjualan Solar Subsidi dan Pertalite (Penugasan) berpotensi bermasalah dalam hal ketika ada kebutuhan/kuota yang lebih besar dibanding kuota awal. 

“Potensi terlampauinya cukup besar. Hal tersebut akan terus berulang sepanjang mekanisme subsidinya ke subsidi barang bukan menggunakan mekanisme subsidi langsung," jelas Komaidi.

Terkait usulan untuk melarang kendaraan pemerintah, TNI/Polri, dan BUMN menggunakan BBM Subsidi dan Penugasan ini bisa jadi alternatif upaya yang ditempuh.

"Ketentuan atau aturan main perlu dipertegas. Dalam UU Keuangan Negara subsidi peruntukannya adalah untuk golongan tidak mampu. Sementara TNI/Polri/ASN, saya kira tidak masuk dalam kriteria tersebut," ungkap Komaidi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×