Sumber: Kompas.com | Editor: Yudho Winarto
Jarot menerangkan, kebutuhan anggaran tersebut adalah untuk penyelesaian masalah sosial di dalam maupun di luar Peta Area Terdampak (PAT).
"Hingga saat ini di dalam PAT terdapat sebanyak 288 berkas milik warga senilai Rp 54 miliar dan 30 berkas pengusaha senilai Rp 701 miliar," kata Jarot.
Baca Juga: DPR dorong transparansi pembayaran utang Lapindo dengan aset
Sementara di luar PAT terdapat 753 bidang milik warga serta fasilitas umum, fasilitas sosial, TKD dan wakaf senilai Rp 805,82 miliar. Jadi rinciannya lengkapnya sebesar Rp 755 miliar untuk yang di dalam PAT dan 805,82 miliar untuk yang di luar PAT.
Jarot menuturkan, sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 83/PUU-IX/21013 bahwa negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah PAT oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu.
Dia menyebut hingga saat ini upaya yang telah dilakukan adalah menyusun Peraturan Menteri (Permen) terkait mekanisme jual beli tanah dan bangunan di luar PAT.
"Selain itu kami juga telah melakukan penyusunan Peraturan Presiden untuk penuntasan permasalahan di dalam PAT," cetus dia.
Untuk diketahui, bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur terjadi sejak 15 tahun lalu yaitu pada 29 Mei 2006. Bencana tersebut bermula dari kebocoran sumur pengeboran gas milik PT Lapindo Brantas dan pertama kali terjadi di Desa Renokenongo Kecamatan Porong Sidoarjo Jawa Timur.
Pada Maret 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan korban Lumpur Lapindo atas Pasal 9 ayat 1 huruf a UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang APBN yang mengatur pemberian ganti rugi terhadap korban semburan Lumpur Lapindo.