Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Dalam kesempatan tersebut Doni menyampaikan, salah satu cara memutus mata rantai penularan Covid-19 adalah dengan melakukan testing (pemeriksaan), tracking (pelacakan) dan treatment (perawatan) (3T) yang tepat kepada pasien yang tertular.
“Namun, pemeriksaan dan pelacakan ternyata tidak mudah dilakukan karena terjadi penolakan di masyarakat,” ungkapnya.
Doni menduga, fenomena ini terjadi karena di masyarakat masih berkembang stigma negatif bagi penderita Covid-19 takut divonis tertular. “Padahal, masyarakat tak perlu takut karena mayoritas penderita Covid-19 sembuh,” ujarnya.
Baca Juga: Relawan penanganan Covid-19 mundur, ini respon Ketua Satgas Doni Monardo
Seperti di Indonesia sekarang, lanjut Doni, angka kesembuhan telah menembus 83,9% dari kasus aktif. Nilai tersebut jauh di atas kesembuhan dunia yang hanya di level 69 persen. “Untuk itu jangan takut, sebab penularan Covid-19 yang makin cepat diketahui akan memudahkan pasien menjalani pemulihan,” ucapnya.
Namun sebaliknya, kata Doni, bila terlambat, risiko tingkat kematian akan semakin tinggi, apalagi bila pasien juga memiliki penyakit bawaan. Berdasarkan data yang dihimpun Satgas Penanganan Covid-19 dari Rumah Sakit (RS) Persahabatan Jakarta, ditemukan pasien dengan kategori ringan memiliki risiko kematian nol persen.
Baca Juga: Ini syarat pembelajaran tatap muka dapat dilakukan di sekolah pada Januari 2021
Sementara itu, pasien dengan kategori sedang mencapai 2,6%, pasien kategori berat 5,5 persen dan pasien kategori kritis memiliki risiko kematian 67,4%. Doni memaparkan, kategori kritis adalah pasien dengan komplikasi infeksi berat yang mengancam kematian, pneumonia berat, serta gagal oksigenasi dan ventilasi.
“Tak sedikit pasien memasuki fase kritis karena sebelumnya memiliki penyakit bawaan seperti hipertensi, diabetes, ginjal, dan gangguan paru,” ujar Doni.