Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengusulkan agar tidak perlu ada pencantuman secara rigid alokasi anggaran penanggulangan bencana dalam revisi UU penanggulangan bencana. Hal ini diyakini akan mempersempit ruang fiskal pemerintah dalam penyusunan APBN.
Menteri Sosial Tri Rismaharini menyampaikan, hasil keputusan rapat tingkat menteri/lembaga di Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) tentang alokasi anggaran kebencanaan dalam revisi UU penanggulangan bencana.
Yakni pengaturan mengenai pengalokasian anggaran penanggulangan bencana tidak perlu dengan mencantumkan persentase secara spesifik yaitu sebesar 2% dari APBN.
Baca Juga: Perhatian! Ini bansos yang tak cair mulai Mei 2021
"Melainkan cukup diatur dalam kaitannya dengan pengalokasian anggaran negara penanggulangan bencana secara memadai. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya mandatory spending yang akan terlalu membebani anggaran negara dan untuk memberikan keleluasaan fiskal," ujar Risma dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, Senin (17/5).
Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan sejumlah hal. Di antaranya, dalam UU nomor 17 tahun 2003, pengalokasian anggaran ditetapkan dengan memperhatikan kinerja anggaran dan berdasarkan prioritas pemerintah.
APBN merupakan instrumen fiskal yang harus mempunyai fleksibilitas untuk bisa dilakukan refocusing sesuai kebutuhan pendanaan program prioritas.
Pencantuman norma terkait alokasi pendanaan dengan besaran berupa persentase tertentu atas APBN (mandatory spending) mempersempit ruang fiskal pemerintah.
"Mengingat sudah terdapat kewajiban alokasi APBN antara lain untuk fungsi pendidikan 20 persen, fungsi kesehatan 5%, transfer ke daerah 26%, dana desa 10%, belanja subsidi dan belanja pegawai," terang Risma.
Risma menegaskan, alokasi untuk penanggulangan bencana pada prinsipnya selalu menjadi bagian dari prioritas pemerintah yang terbagi dalam sejumlah hal.