Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
Fajry menilai bagi Indonesia ketentuan tersebut akan berdampak pada daya saing investasi. Jika Indonesia tidak menerapkan insentif itu, maka investor asing/perusahaan multinasional yang hendak berinvestasi akan lebih memilih ke negara yang mematok tarif pajak 10% karena telah memberikan carve-out 5%.
“Artinya, kompetisi pajak itu masih ada. Perusahaan multinasional yang memiliki substance akan terus mencari yurisdiksi dengan tarif rendah,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (26/7).
Padahal, investasi sangat dibutuhkan Indonesia untuk mendorong perekonomian ke depan. Makanya, Fajry menyarankan agar pemerintah Indonesia harus ikut memberikan carve-out agar tetap bisa bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya.
Sebagai informasi, persetujuan tersebut telah disampaikan oleh 132 dari 139 negara atau yurisdiksi anggota OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS.
Detil teknis yang ada dalam kesepakatan tersebut tersebut akan dilaporkan dan difinalisasi pada pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada bulan Oktober 2021 mendatang. Rencananya akan ditandatangani di tahun 2022 dan diberlakukan secara efektif di tahun 2023.
Selanjutnya: Sektor ritel, horeka, hingga Transportasi disuntik bantuan, ini kata ekonom
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News