kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mengapa Media Sosial Harus Dipisah dari E-commerce? Ini Alasannya


Rabu, 04 Oktober 2023 / 13:19 WIB
Mengapa Media Sosial Harus Dipisah dari E-commerce? Ini Alasannya
ILUSTRASI. Ada empat alasan yang membuat sebuah platform dilarang menjalankan bisnis tersebut secara bersamaan. KONTAN/Muradi

Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia resmi melarang media sosial dijadikan toko jualan. Larangan tersebut tidak hanya berlaku untuk TikTok melainkan media sosial yang lainnya.

Ditegaskan pula, pemerintah hanya memperbolehkan media sosial digunakan untuk memfasilitasi promosi, tidak untuk transaksi.

Melansir Infopublik.id, staf Khusus Menteri koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Stafsus Menkop UKM) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari, menjelaskan tentang bahayanya sebuah platform menjalankan bisnis media sosial dengan e-commerce secara bersamaan.

Menurut Fiki, ada empat alasan yang membuat sebuah platform dilarang menjalankan bisnis tersebut secara bersamaan. 

Pertama, sebuah platform bisa memonopoli pasar. Ironisnya, monopoli alur traffic dijalankan tanpa disadari oleh pengguna. Mereka diarahkan untuk membeli produk tertentu tanpa mereka sadar.

"Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dipunyai," kata Fiki.

Baca Juga: Mendag Pastikan TikTok Bakal Patuhi Aturan Pemerintah

Kedua, platform bisa memanipulasi algoritma. Platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan bisa dengan mudah mendorong produk asing tertentu untuk muncul terus menerus di media sosial pengguna.

Secara bersamaan mempersulit produk lokal untuk muncul di media sosial. Fiki mengatakan manipulasi algoritma itu memungkinkan platform untuk menguntungkan satu produk dan di saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya.

Ketiga, platform bisa memanfaatkan traffic. Media sosial mempunyai traffic yang sangat besar dan saat ini dapat dimanfaatkan menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce.

Trigger pembelian ini tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika ini terjadi, maka tidak ada equal playing field dalam industri digital di Indonesia.

Baca Juga: Mulai Besok TikTok Shop Dihentikan, Ini Tanggapan Asosiasi UMKM Indonesia

Keempat, perlindungan data. Jika berkaca kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya.

Karena media sosial tujuannya untuk hiburan, maka data yang didapat dari situ tidak untuk diperdagangkan. 

"Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan," kata Fiki. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan hal senada. Menurutnya sebuah platform memang sudah sewajarnya untuk dilarang menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan.

Jika tidak diatur, berpotensi menghadirkan persaingan dagang yang tidak sehat. Menurut Bhima, pemisahan ini diperlukan salah satunya untuk menjaga keamanan data. Penyalahgunaan data akan lebih sulit dilakukan jika terbagi di dua platform berbeda.

Baca Juga: Jokowi Beri Tanggapan Soal Kisruh TikTok Shop

“Selain itu, pengawasan yang dilakukan juga dapat lebih optimal karena tidak tumpang tindih.  Setidaknya algoritma media sosial tidak diarahkan untuk kepentingan penjualan barang di e-commerce,” kata Bhima.

Pemerintah baru saja mengesahkan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). 

Regulasi anyar itu salah satunya mengatur tentang pemisahan bisnis antara media sosial dan e-commerce atau social commerce.

Social commerce hanya diperbolehkan sebagai sarana untuk memberikan penawaran barang dan atau jasa. 

"PPMSE dengan model bisnis Social-Commerce dilarang memfasilitasi transaksi pembayaran pada Sistem Elektroniknya," bunyi Pasal 21 ayat (3).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×