Reporter: kompas.com, Vendy Yhulia Susanto | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Menteri dari Politisi PKB ini mengakui bahwa usulan dari para pengusaha jelas tidak selaras dengan serikat pekerja/serikat buruh yang menolak upah minimum masih menggunakan formula PP 36/2021.
"Kami juga mendapatkan masukan dari para pekerja atau buruh yang telah bertolak belakang tentu saja dengan yang disampaikan oleh teman-teman dari Apindo dan Kadin. Mereka menyampaikan bahwa PP 36/2021 tidak bisa jadi dasar penetapan upah minimum," ungkapnya.
Maka dari itu, mengenai gaji, lanjut Menaker, diperlukan dialog antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh.
"Berikutnya, perlu didorong penerapan upah di luar upah minimum yakni upah layak. Seperti struktur skala upah. Saya kira ini yang sudah kami lakukan sampai hari ini, menyerap aspirasi dari stakeholder baik dari mulai dari teman-teman di Dewan Pengupahan, serikat pekerja/serikat buruh maupun teman-teman pengusaha," pungkas dia.
Buruh tuntut kenaikan 13%
Melansir Kontan.co.id, erikat pekerja ngotot meminta kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2023 sebesar 13%.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, perhitungan kenaikan UMP mestinya berdasarkan PP nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Sebab, PP nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, merupakan aturan turunan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Baca Juga: BPS Catat Rata-rata Upah Buruh pada Agustus 2022 Capai Rp 3 Juta, Naik 12,22%
Adapun Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Dalam salah satu amar putusannya, MK memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Elly menyebut, penetapan UMP merupakan salah satu kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Sebab itu, sudah semestinya penentuan UMP kembali mengacu pada PP nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
"Ketika kami nanti mengacu kepada PP 36 itu kan masih bermasalah karena UU nya masih cacat secara formil," ujar Elly saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (8/11).