kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

KPPU duga adanya persaingan usaha tidak sehat dalam tata niaga industri nikel


Sabtu, 13 November 2021 / 11:35 WIB
KPPU duga adanya persaingan usaha tidak sehat dalam tata niaga industri nikel

Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga adanya persaingan usaha tidak sehat dalam tata niaga industri nikel.

Direktur Investigasi KPPU Gopprera Panggabean mengatakan, berdasarkan informasi yang diterima, adanya dugaan salah satu perusahaan surveyor yang digunakan oleh beberapa perusahaan smelter. Hal ini diduga terkait dengan pengukuran kadar nikel yang dilakukan surveyor.

KPPU nantinya akan mendalami apakah penunjukan terhadap satu surveyor yang digunakan beberapa smelter tadi mengakibatkan cukup perbedaan selisih perhitungan kadar nikel antara surveyor yang digunakan oleh penambang maupun yang digunakan oleh perusahaan smelter.

“Kita tahu bahwa perhitungan kadar yang dilakukan surveyor ini akan mempengaruhi harga bijih nikel dalam transaksi jual beli antar perusahaan penambang dengan perusahaan yang bergerak di bidang smelter bijih nikel tersebut. Kami belum jelaskan detail karena masih penelitian,” ujar Gopprera dalam konferensi pers virtual, Jumat (12/11).

Baca Juga: KPPU: Jangan ada praktik bundling pelayanan tes PCR

Dalam pemberitaan Kontan.co.id sebelumnya, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, perbedaan perhitungan terjadi dalam Certificate of Analysis (COA) muat dan COA Bongkar.

"Sedangkan patokan pembayaran selalu cost, insurance & freight (CIF) yaitu setelah hasil analisa pelabuhan bongkar (di smelter)," ujar Meidy kepada Kontan.co.id, Kamis (23/9).

Jika merujuk kontrak CIF, apabila kadar bijih nikel turun maka akan dikenakan penalti berupa pemotongan harga.

Meidy mengungkapkan, dengan kondisi ini maka penambang selalu dirugikan. Menurut dia, ketika di pelabuhan muat, pelaku usaha sudah melunasi PNBP royalti dan PPH sebelum kapal diberangkatkan. Selain itu, kadar pun sudah sesuai dengan perhitungan COA muat.

APNI mengharapkan transaksi bijih nikel harus sesuai dengan regulasi yang ada yakni Peraturan Menteri ESDM No 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batubara.

Baca Juga: Kabar duka, Ketua KPPU Kodrat Wibowo meninggal dunia

"Transaksi Free on Board (FOB) sehingga patokan COA yang dipakai hanya 1 (yaitu) COA muat," kata Meidy.

Meidy menjelaskan lebih jauh, sejumlah harapan ke depan yakni pembayaran PNBP dan transaksi mengacu pada hasil verifikasi di terminal muat oleh surveyor yang disepakati bersama oleh penambang dan smelter. 

Dengan pelaksanaan kebijakan tersebut maka transaksi dinilai lebih efisien pasalnya verifikasi hanya dilakukan sekali saja. Ini juga berpotensi mengurangi waktu bongkar muat di pelabuhan.

Baca Juga: Frekuensi hasil merger industri telekomunikasi harus ada evaluasi Kominfo dan KPPU

APNI pun menilai, dengan terobosan tersebut maka cashflow penambang menjadi cepat serta ketergantungan terhadap trader juga dapat berkurang. Selain itu, ini juga demi meminimalisir kasus reject komoditas yang disebut merugikan penambang.

Meidy menambahkan, perlu intervensi pemerintah dalam mengubah proses business to business yang terjadi saat ini.

"(Juga) diberikan batas maksimum kuota analisa merata ke seluruh surveyor," jelas Meidy. Dia memastikan, pihaknya secara intens telah melaporkan hal ini ke Kementerian Perdagangan.

Selanjutnya: Terkait spektrum pasca merger Indosat Ooredoo Hutchison, bisa minta pertimbangan KPPU

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×