Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) telah merancang agenda bisnis jangka panjang dalam mengembangkan segmen petrokimia.
Maklum, industri petrokimia akan semakin cemerlang di masa depan lantaran permintaan yang terus meningkat. Adapun saat ini, kebutuhan produk petrokimia seperti paraxylene, polyethilyne, dan polyprophelyne sekitar 70% masih dipenuhi dari luar negeri alias masih impor.
Direktur Pengembangan Bisnis PT Kilang Pertamina Internasional Joko Widi memproyeksikan, belanja modal (capital expenditure/capex) yang dibutuhkan KPI untuk mengembangkan industri petrokimia berkisar antara US$ 10 miliar hingga US$ 15 miliar sampai dengan 2028.
"Sumber dana tentu saja KPI akan berpartner. Jadi Pertamina akan melakukan serangkaian project expose dan roadshow dari partner dengan tiga kriteria utama," jelasnya dalam acara webinar bertajuk "Kilang Dalam Transisi Energi: Roadmap Pengembangan Kilang & Petrokimia, Green Fuel serta Hilirisasi Produk" Selasa (16/11).
Baca Juga: Kebakaran tangki di area Kilang Cilacap diduga akibat sambaran petir
Perincian kriteria tersebut, pertama, membawa market. Joko mengatakan, kalau membawa pasar domestik tidak terlalu sulit.
Kriteria kedua, membawa pendanaan atau financing, dan kriteria ketiga membawa teknologi. "Kami memang akan berpatner dalam bidang finansial," ujarnya.
Saat ini, Joko mengakui, sudah banyak pihak yang melirik untuk berpartner. Salah satu yang sudah terealisasi adalah ditandatanganinya nota kesepahaman dengan Mubadala perusahaan investasi asal Uni Emirat Arab. Menurut catatan sebelumnya, MoU bersama investor UEA ini untuk percepatan pengembangan Refinery Development Master Plan (RDMP) RU V Balikpapan.
"Selain itu dari domestik ada INA, dan juga beberapa lainnya dan kita akan melakukan serangkaian roadshow di awal tahun depan," ujar Joko.
Joko juga mengungkapkan, dalam waktu dekat pihaknya akan diundang oleh forum investor Korea yang dikatakan sangat berminat dalam proyek petrokimia Pertamina.
Joko mengatakan, pertimbangan Pertamina mengembangkan petrokimia karena bisnis bahan bakar minyak (BBM) akan tertekan di masa depan. Joko mengutip proyeksi dari Argus, bahwa ke depannya akan terjadi pergesaran permintaan BBM akibat transisi energi. Akibatnya, gross refinery margin BBM akan semakin tertekan.
Joko menyebutkan, sampai dengan 2050 mendatang, bisnis fuel akan menghadapi tantangan di mana average spread produk BBM dari kilang hanya sebesar US$ 12/bbl dan akan semakin rendah. Sedangkan, pada industri petrokimia, terjadi tren peningkatan gross margin di mana average spread produk petrokimia terhadap Naphta sebesar US$ 54/bbl pada 2050 mendatang.
Seiring dengan hal tersebut, hingga 2040 permintaan petrokimia akan semakin meningkat. Joko memaparkan, untuk produk polyethylene nilai kapitalisasi konsumsi di 2040 akan menjadi US$ 6,2 miliar, sedangkan Indonesia masih mengalami defisit atau kekurangan supply sekitar 3,2 juta ton pertahun.
Untuk produk lainnya yakni polypropylene kapitalisasi nilai produk pada 2040 senilai US$ 5,9 miliar, adapun posisi Indonesia masih kekurangan supply sekitar 3,2 juta ton pertahun.
Baca Juga: Kilang RDMP Balikpapan Pertamina ditarget bisa produksi BBM standar Euro V pada 2024
Direktur Utama KPI Djoko Priyono memaparkan lebih lanjut mengenai tren kebutuhan BBM dan petrokimia dengan horizon waktu yang lebih pendek, yakni hingga 2030 mendatang.
Ia mengatakan, tren permintaan BBM seperti produk avtur, gasoil dan gasoline, kebutuhannya terus meningkat 3% pertahun sampai dengan 2030. Diperkirakan kebutuhan BBM sebesar 1,5 juta barrel per-hari dan saat ini kapasitas kilang hanya sekitar 729.000 barrel per-hari. Artinya, ada gap antara kebutuhan dan kapasitas kilang sebesar 830.00 barrel per-hari.
Kemudian untuk produk petrokimia yakni paraxylene, polyethilyne, dan polyprophelyne akan terjadi kenaikan permintaan sampai 5% per-tahun hingga 2030 mendatang. Djoko menjelaskan, proyeksi kebutuhan produk petrokimia ini sampai dengan 2030 mencapai 7.646 kilo ton per-tahun.
Sedangkan, saat ini petrokimia yang diproduksi Pertamina baru 1.660 kilo ton per-tahun sehingga ada peluang 5.986 kilo ton per-tahunnya.
"Tentunya gap ini menjadi pemikiran Pertamina melalui KPI, bagaimana kami melakukan closing the gap ini dan menghadapi transisi energi," ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Ada sejumlah inisiatif yang dikembangan Pertamina melalui KPI di sektor energi dan petrokimia, utamanya juga untuk menutup gap permintaan di 2030 mendatang.
Baca Juga: Pertamina Rosneft gandeng PLN sediakan listrik pada pembangunan kilang GRR Tuban
Khusus untuk memenuhi kebutuhan BBM, KPI meningkatkan atau upgrade lima refinery eksisting yakni RU II Dumai, RU III Plaju, RU IV Cilacap, RU V Balikpapan, dan RU VI Balongan. KPI akan meningkatkan profitabilitas refinery dengan memproduksi produk bernilai tinggi.
Untuk mengantisipasi terjadi penurunan kebutuhan BBM, KPI akan mengembangkan kilang yang dapat mengkonversi BBM ke produk petrokimia, hilirisasi petrokimia, hingga farmasi.
Khusus untuk pengembangan petrokimia, KPI mengembangkan grass root refinery (GRR) Tuban yang terintegrasi dengan kompleks petrokimia yang diakui Djoko akan dibangun di Tuban.
"Dengan kapasitas terpasang sebesar 300.000 barrel crude processing maka yang diintegrasikan dengan petrokimia sebesar 1.078 kilo ton per-tahun untuk naphta cracker sehingga GRR tubah dapat memproduksi 30% kebutuhan petrokimia di Indonesia," ujar Djoko.
Insiaitif lain dalam pengembangan petrokimia ialah, pengembangkan pabrik petrokimia PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Rencananya, kapasitas produk paraxylene dan olefin TPPI akan dinaikkan.
Terakhir, KPI juga akan mengembangkan produk turunan dari kilang. Djoko bilang, inisiatif ini tentunya akan memperhatikan hingga ke produk-produk downstream, seperti carbon black yang digunakan untuk bahan baku ban, isopropyl alchol, dan N-Paraffin.
"Semua bahan baku ada di kilang bisa dikonversi ke produk tersebut untuk sampai ke end costumer. Ini yang akan dikembangkan yakni mengantisipasi transisi energi mengarah pada EBT dan nanti juga kebutuhan fosil mengalami penurunan," ujarnya.
Djoko berharap, melalui inisiatif-insiatif ini, KPI dapat memenuhi kebutuhan BBM dan petrokimia di masa yang akan datang serta membangu pemerintah mengurang CAD.
Selanjutnya: Kilang Pertamina Internasional tambah kapasitas tanki penyimpanan minyak mentah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News