Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana, mengatakan, baru sekitar 40% tanah wakaf yang telah memiliki sertifikat tanah wakaf. Adapun total jumlah tanah wakaf yang ada di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 411.333 bidang/lokasi.
“Berdasarkan data yang ada di sistem BPN baru 173.000 bidang (telah tersertifikat). Artinya baru sekitar 40% yang kita daftarkan,” ujar Suyus dalam diskusi virtual, Kamis (9/9).
Kementerian ATR/BPN mencatat sejumlah permasalahan terkait tanah wakaf. Diantaranya, surat bukti kepemilikan tanah/alas hak tidak ada atau tidak ada lagi. Sehingga nadzir (pihak yang menerima harta benda wakaf) kesulitan mendaftarkan tanah wakaf.
Kemudian, anggapan bahwa kedudukan tanah wakaf sudah cukup kuat tanpa sertifikat. Pembuktian dirasa cukup dengan segel adat atau surat keterangan lainnya, dimana tanah wakaf tersebut sudah dikuasai selama puluhan tahun dan tidak ada gugatan dari pihak lain.
Baca Juga: Kementerian ATR/BPN targetkan program PTSL di seluruh Indonesia tuntas 2025
Lalu, masih adanya anggapan masyarakat bahwa perwakafan tanah cukup dilakukan secara lisan.
Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN telah menerbitkan sejumlah regulasi untuk mempercepat sertifikasi tanah wakaf. Diantaranya, Peraturan Menteri ATR/BPN nomor 2 tahun 2017 tentang tata cara pendaftaran tanah wakaf, Instruksi Menteri ATR/BPN nomor 1/INS/II?2018 tentang pensertifikatan tanah tempat peribadatan di seluruh Indonesia.
Serta Surat Edaran Menteri ATR/BPN nomor 1/SE/III/2018 tentang petunjuk pelaksanaan percepatan pendaftaran tanah tempat peribadatan di seluruh Indonesia. ”Saya berharap kita bisa menyelesaikan sertifikasi wakaf ini dengan waktu tiga atau empat tahun ke depan,” ucap Suyus.
Wakil Ketua Badan Pelaksana, Badan Wakaf Indonesia (BWI), Imam Teguh Saptono, melihat pemanfaatan tanah wakaf yang selama ini sebagian besar pada tiga hal. Yakni masjid/mushola, madrasah/sekolah dan makam.
Padahal potensi wakaf yang dinilai dapat berdampak pada perekonomian. Misalnya, mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi pengeluaran pemerintah.
Baca Juga: Kementerian ATR/BPN-Kemenag sinergi integrasikan data tanah wakaf
“Misalkan fasum (fasilitas umum), fasos (fasilitas sosial) atau aset yang dibutuhkan masyarakat mulai dipelopori misalkan bisa dibangun di atas tanah wakaf sehingga menimbulkan kemanfaatan yang lebih tinggi kepada umat, dengan cara seperti itu anggaran yang dibutuhkan pemerintah semakin berkurang,” ucap Imam.
Imam menilai adanya gap di sisi nadzir. Yakni nadzir memiliki orientasi dan kompetensi bisnis yang terbatas, tidak memiliki akses terhadap sumber pembiayaan formal dan literasi masyarakat dan industri yang rendah.
Imam menilai perlu adanya fatwa-fatwa wakaf kontemporer untuk meningkatkan daya saing manfaat tanah wakaf. Selain itu, perlunya memadukan 4 pilar untuk meningkatkan sektor perwakafan.