kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini kata WHO soal sertifikat vaksin Covid-19 jadi syarat beraktivitas


Selasa, 10 Agustus 2021 / 11:00 WIB
Ini kata WHO soal sertifikat vaksin Covid-19 jadi syarat beraktivitas

Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini, sertifikat vaksin Covid-19 dijadikan salah satu syarat untuk melakukan perjalanan dan memasuki fasilitas publik. 

Sejumlah daerah sudah menerapkan masyarakat untuk menunjukkan sertifikat vaksin di hotel, restoran, warteg, salon dan barbershop, destinasi wisata, hingga pelaku perjalanan domestik yang menggunakan mobil, sepeda motor, bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat. 

Dengan mewajibkan sertifikat vaksin Covid-19 untuk mengakses fasilitas publik, diharapkan herd immunity dapat segera tercapai. 

"Jadi nanti kalian pergi ke restoran enggak pakai ini (sertifikat), tolak. Belanja enggak pakai ini, tolak. Karena ini demi keselamatan kita semua," ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, usai memantau pelaksanaan vaksinasi di Gedung Setda Sleman, Jumat (6/8/2021). 

Namun, hingga saat ini baik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan epidemiolog belum merekomendasikan hal ini. Mengapa demikian? 

Baca Juga: Siap-siap, sertifikat vaksin akan dijadikan prasyarat dalam kegiatan publik

Kata WHO soal mandatory vaccine 

Dilansir dari laman WHO tentang Covid-19 and mandatory vaccination: Ethical considerations and caveats yang tayang pada 13 April 2021, disebutkan bahwa vaksin merupakan alat yang paling efektif untuk melindungi orang dari Covid-19. Oleh sebab itu, vaksinasi Covid-19 dilakukan di seluruh dunia. 

WHO pun menyadari, banyak negara akan mewajibkan vaksin guna meningkatkan tingkat vaksinasi dan mencapai tujuan kesehatan masyarakat. Kebijakan tersebut dapat dibenarkan secara etis, karena mungkin penting untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. 

"Namun demikian, karena kebijakan yang mengamanatkan suatu tindakan atau perilaku mengganggu kebebasan dan otonomi individu, mereka harus berusaha untuk menyeimbangkan kesejahteraan komunal dengan kebebasan individu," kata WHO dalam laman resminya. 

Baca Juga: Sertifikat vaksin belum muncul, ini cara cek, download, dan solusinya

Karenanya, WHO mengatakan pihaknya tidak memberikan posisi yang mendukung atau menentang vaksinasi Covid-19 wajib. Namun, WHO mengatakan ada beberapa faktor yang perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah atau pembuat kebijakan.

Kata epidemiolog 

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, masalah sertifikat vaksin sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah wabah di dunia. Dicky mengatakan, WHO memiliki apa yang disebut sebagai yellow card, sudah digunakan sejak 1969 sebagai persyaratan bagi para pelancong yang datang ke negara tertentu. 

Yellow card ini untuk menunjukkan apakah seseorang sudah divaksinasi yellow fever atau demam kuning, infeksi virus yang disebarkan nyamuk spesies tertentu. Sebagai contoh lain, untuk masuk ke Pakistan dan Afganistan juga diharuskan sudah vaksin polio. 

"Jadi paspor vaksin atau sertifikat vaksin bukan hal baru. Namun saya bisa memahami bahwa sikap WHO belum merekomendasikan (sertifikat vaksin tersebut)," kata Dicky dihubungi Kompas.com, Senin (9/8/2021). 

Dicky juga mengatakan, secara pribadi dia mendukung sikap WHO tersebut. Menurutnya, ada beberapa alasan kenapa sertifikat vaksin untuk berkegiatan ini tidak direkomendasikan, antara lain: 

Baca Juga: Vaksinasi tembus 50 juta, upaya penting kurangi laju penyebaran COVID-19

1. Belum ada bukti kuat vaksin bisa mencegah infeksi 

Hal yang harus dipahami, kata Dicky, hingga saat ini kita belum memiliki bukti kuat bahwa vaksin yang ada bisa mencegah penularan Covid-19. "Orang yang sudah divaksin itu bukan berarti enggak bisa tertular virus," kata Dicky memperingatkan. 

2. Masalah stok, suplai, akses terhadap vaksin 

Masalah kedua adalah terkait stok, suplai, dan akses terhadap vaksin yang belum merata. "Dan ini bisa menjadi potensi diskriminasi, ketidakadilan antar wilayah termasuk penduduk," ungkapnya.   

Seperti diketahui, akses vaksin Indonesia saat ini adalah dari negara-negara lain dengan jumlah vaksin yang terbatas. Dengan jumlah vaksin yang masih sedikit, tak heran jika di banyak daerah banyak orang mengaku sulit mendapat vaksin atau ketika sudah mendaftar kuotanya dengan cepat terisi. 

"Kecuali kalau cakupan minimal vaksin sudah 50 persen, ini menurut saya bisa menggunakan sertifikat vaksin," imbuh dia. 

Menurut Dicky, penerapan sertifikat vaksin untuk berkegiatan harus dilakukan dengan bijak dan bertahap. 

"Jika suatu provinsi mau memberlakukan sertifikat vaksin, semua kota/kabupaten hingga kecamatan cakupan vaksinnya sudah 50 persen itu bisa saja dilakukan," sambungnya. 

"Tapi kalau belum, nantinya jadi tidak adil." 

Dia mengingatkan kembali, hal ini tidak direkomendasikan karena masih banyak orang yang belum divaksin dengan berbagai alasan. Bukan hanya karena orang tersebut tidak mau divaksin, tapi bisa juga karena persediaan vaksin yang sangat terbatas, sulit mendapat akses ke vaksin, atau karena kondisi tubuh. 

"Ini yang harus dipertimbangkan," pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sertifikat Vaksin Covid-19 Jadi Syarat Beraktivitas, Ini Kata WHO dan Epidemiolog"
Penulis : Gloria Setyvani Putri
Editor : Gloria Setyvani Putri

Selanjutnya: Inilah tempat umum di Jakarta yang harus menunjukkan sertifikat vaksin Covid-19

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

×