Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Yudho Winarto
Adapun dari sisi tarif, Farjy mengatakan idealnya untuk tarif PPN rendah, maksimal dikenakan 5%. Sedangkan untuk tarif tinggi, dapat dikenakan kisaran 15%.
Setali tiga uang, skema multitarif dinilai bisa menggenjot penerimaan PPN. Merujuk pada laporan World Bank dampak berkurangnya potensi penerimaan dari tarif yang lebih rendah akan kecil.
Sementara peningkatan penerimaan dari tarif lebih tinggi dampak bertambahnya potensi penerimaan dari tarif yang lebih tinggi akan jauh lebih besar.
“Artinya, potensinya harusnya bisa lebih optimal dibandingkan single rate,” kata Pengamat Pajak CITA Fajry.
Skema multitarif PPN ini pun dinilai akan berdampak terbatas terhadap ekonomi domestik. Kata Fajry, selama pandemi yang dikeluhkan pemerintah maupun pengusaha adalah kelas menengah atas yang menahan berbelanja dan cenderung meningkatkan saving.
Baca Juga: Pemerintah percaya diri ekonomi Indonesia bisa tumbuh 7%, ini kata ekonom
Kelompok atas menahan belanja bukan karena tidak memiliki daya beli tapi lebih karena tindakan pencegahan terkait pandemi. Jadinya, jika kenaikan tarif PPN lebih dikenakan ke kelompok menengah atas maka seharusnya harus dampaknya ke ekonomi akan sangat terbatas.
Lebih lanjut, jika penerimaan dari kenaikan tarif digunakan pemerintah untuk mendukung belanja pemerintah melalui program-program untuk kelas menengah bawah, seperti bantuan sosial, maka dampaknya akan positif bagi ekonomi.
“Jadi kelas menengah atas yang konsumsinya mandek dan cenderung saving, dikenakan beban pajak lebih tinggi, lalu didistribusikan ke kelompok bawah melalui pemerintah berupa Bansos, saya kira ini malah menjadi solusi agar roda ekonomi kita untuk terus berputar. Tapi, menurut saya perlu dikaji lebih lanjut ya,” ucap Fajry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News