Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam kondisi pandemi Covid-19, ruang ekspansi kredit perbankan menjadi terbatas. Walhasil, hingga awal tahun 2021 realisasi kredit perbankan masih tetap terkontraksi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, pertumbuhan kredit hingga Februari 2021 masih berada pada posisi -2,15% secara tahunan atau year on year (yoy) dengan outstanding kredit mencapai Rp 5.419,1 triliun.
Angka itu bahkan turun lebih dalam jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang terkontraksi -1,92% yoy menjadi Rp 5.391,7 triliun. Hal itu pula yang membuat Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menghimbau agar perbankan segera menyalurkan kredit.
Sebab, beragam stimulus hingga penurunan suku bunga acuan sudah dilakukan bank sentral secara aktif. “Perbankan lainnya ayo tingkatkan kredit dan pembiayaan kepada dunia usaha. Mari kita dorong kredit kepada dunia usaha agar ekonomi pulih,” kata Perry, Kamis (25/3) lalu.
Baca Juga: Insentif PPnBM otomotif akan dongkrak kredit kendaraan perbankan
Selain itu, BI juga sudah cukup agresif melakukan quantitative easing hingga burden sharing pembiayaan anggaran belanja dengan pemerintah, injeksi likuiditas ke perbankan, hingga upaya-upaya dalam menstabilkan nilai tukar rupiah. Meski begitu faktanya menurut Perry, masih banyak bank yang justru memilih memarkir likuiditasnya ke surat berharga
"Jadi berhadap segera diturunkan suku bunga kreditnya, supaya kreditnya naik, (perbankan) jangan dibelikan surat berharga negara (SBN) atau disimpan ke BI, ayo salurkan kredit," imbuhnya.
Memang bila merujuk pada data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) per 24 Maret 2021 total kepemilikan bank di surat berharga negara (SBN) sudah mencapai Rp 1.580,16 triliun. Nilai tersebut praktis terus naik dari posisi akhir 2020 lalu yang mencapai Rp 1.375,57 triliun.
Longgarnya kondisi likuiditas perbankan juga bisa tercermin dari posisi loan to deposito ratio (LDR) yang terus menurun hingga menjadi 81,54% per Februari 2021 dari bulan sebelumnya 82,15%. Wajar saja, meski kredit terkontraksi 2,15% di bulan Februari 2021, total dana pihak ketiga (DPK) perbankan justru masih naik 10,11% yoy menjadi Rp 6.645,9 triliun.
Kemudian, beberapa rasio likuiditas perbankan juga relatif longgar. Semisal, alat likuid perbankan atau dana yang bisa disalurkan dalam bentuk kredit nilainya mencapai Rp 2.184 triliun per Februari 2021. Lalu, posisi rasio alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) juga terus meningkat menjadi 152,01% dari bulan Januari 2021 sebesar 147,1%.
Baca Juga: Tersangka kasus AJB Bumiputera Nurhasanah ajukan praperadilan, ini kata ahli hukum
Indikator-indikator tersebut menandakan bank memang masih belum agresif menyalurkan kredit di awal tahun. Bahkan data BI pada akhir tahun lalu menyatakan posisi rasio intermediasi makroprudensial (RIM) ada di kisaran 82,33%, terbilang longgar. Namun, menurut beberapa bank, wajar kalau likuiditas cenderung berlebih.
Sebabnya, di awal tahun penyaluran kredit dalam kondisi normal pun memang belum menggeliat. Presiden Direktur PT Bank Maybank Indonesia Tbk Taswin Zakaria menilai, kemungkinan kredit baru akan bergerak pada kuartal II 2021. Optimisme itu dipicu pula dengan adanya momentum hari raya Lebaran. "Permintaan kredit masih belum kuat. Kami berharap di kuartal kedua ini sudah mulai bergerak," tuturnya.
Sekadar informasi, per Januari 2021 penyaluran kredit Maybank Indonesia memang masih terkontraksi sebesar 13,01% yoy menjadi Rp 107,44 triliun. Sementara total surat berharga yang dimiliki Maybank Indonesia hingga Januari 2021 telah mencapai Rp 26,88 triliun, naik dari periode setahun sebelumnya sebesar Rp 14,83 triliun atau bergerak sekitar 81,25% secara tahunan.
Segendang sepenarian, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) juga menyatakan kalau posisi likuiditas perseroan terbilang longgar. Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto menggambarkan posisi RIM di akhir 2020 lalu ada di level 80,03% lebih rendah dibandingkan rata-rata industri.
Namun, bukan hanya karena penyaluran kredit belum maksimal. BRI memandang RIM yang rendah itu juga disebabkan oleh optimalisasi atas likuiditas bank melalui penempatan pada instrumen surat berharga yang dikelola secara aktif. Pun, alasan bank menaruh dananya di surat berharga juga bertujuan agar dana tersebut bisa dijadikan sebagai underlying transaksi repo.
Sederhananya, dalam situasi pandemi Covid-19 langkah tersebut merupakan salah satu cara bagi bank untuk mengendalikan likuiditas dengan potensi risiko yang lebih rendah. Sekaligus menjadi upaya bank mendukung program pendalaman pasar uang.
Baca Juga: Amar Bank berkomitmen perkuat posisinya sebagai bank digital
Mengacu pada laporan keuangan bulan Januari 2021 memang terbukti bahwa penempatan BRI surat berharga cukup jumbo hingga mencapai Rp 310,96 triliun. Meningkat dari periode setahun sebelumnya sebesar Rp 183,54 triliun atau naik sekitar 69,42% secara tahunan.
Kendati demikian, berbeda dengan bank lainnya, Aestika menambahkan BRI tetap mencatat kredit tumbuh. Per Desember 2020 misalnya kredit BRI naik 3,89% yoy, lebih tinggi dari pertumbuhan kredit industri perbankan yang terkontraksi -2,41% di periode yang sama.
Begitu juga bila merujuk pada laporan keuangan bulan Januari 2021, total kredit BRI (individual) masih tumbuh 3,33% yoy menjadi Rp 878,1 triliun. "Hal ini sebagai bukti BRI terus mendukung perbaikan ekonomi nasional melalui penyaluran pinjaman berdasarkan prinsip prudential banking dan good corporate governance," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (28/3).
Menanggapi fenomena tersebut, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menjelaskan di tengah pandemi saat ini, risiko usaha jelas meningkat drastis dibanding situasi normal. Artinya, risiko kredit juga ikut meninggi dan membuat kredit yang sudah disalurkan oleh perbankan terancam macet.
Walhasil, sejak awal pandemi Covid-19 hingga saat ini seluruh bank jelas tengah berfokus untuk mencegah peningkatan non performing loan (NPL) ketika masa program restrukturisasi kredit dari OJK berakhir. "Bank memang tidak akan menyalurkan kredit karena risiko yang besar. Di sisi lain, dunia usaha yang sekarang ini terbatasi oleh pandemi yang juga tidak membutuhkan kredit atau pembiayaan," kata Piter.
Baca Juga: Bank Mandiri minta nasabah segera ganti kartu debit ke chip, sebelum dinonaktifkan
Dia juga mengamini, upaya pemerintah dan regulator dengan menerbitkan beragam stimulus belum akan berdampak banyak. Menurutnya, stimulus dan relaksasi itu dalam waktu dekat hanya mampu mengerem kontraksi kredit saja, belum akan mendorong pertumbuhan kredit hingga positif.
Menurut kacamatanya, kredit perbankan baru akan bergerak deras ketika status pandemi berakhir dan dunia usaha kembali normal. Singkatnya, selama pandemi masih berlangsung tentu kredit bank belum akan naik signifikan.
Selanjutnya: Sepanjang 2021, OJK sudah terbitkan 7 POJK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News