Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
Segendang sepenarian, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) juga menyatakan kalau posisi likuiditas perseroan terbilang longgar. Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto menggambarkan posisi RIM di akhir 2020 lalu ada di level 80,03% lebih rendah dibandingkan rata-rata industri.
Namun, bukan hanya karena penyaluran kredit belum maksimal. BRI memandang RIM yang rendah itu juga disebabkan oleh optimalisasi atas likuiditas bank melalui penempatan pada instrumen surat berharga yang dikelola secara aktif. Pun, alasan bank menaruh dananya di surat berharga juga bertujuan agar dana tersebut bisa dijadikan sebagai underlying transaksi repo.
Sederhananya, dalam situasi pandemi Covid-19 langkah tersebut merupakan salah satu cara bagi bank untuk mengendalikan likuiditas dengan potensi risiko yang lebih rendah. Sekaligus menjadi upaya bank mendukung program pendalaman pasar uang.
Baca Juga: Amar Bank berkomitmen perkuat posisinya sebagai bank digital
Mengacu pada laporan keuangan bulan Januari 2021 memang terbukti bahwa penempatan BRI surat berharga cukup jumbo hingga mencapai Rp 310,96 triliun. Meningkat dari periode setahun sebelumnya sebesar Rp 183,54 triliun atau naik sekitar 69,42% secara tahunan.
Kendati demikian, berbeda dengan bank lainnya, Aestika menambahkan BRI tetap mencatat kredit tumbuh. Per Desember 2020 misalnya kredit BRI naik 3,89% yoy, lebih tinggi dari pertumbuhan kredit industri perbankan yang terkontraksi -2,41% di periode yang sama.
Begitu juga bila merujuk pada laporan keuangan bulan Januari 2021, total kredit BRI (individual) masih tumbuh 3,33% yoy menjadi Rp 878,1 triliun. "Hal ini sebagai bukti BRI terus mendukung perbaikan ekonomi nasional melalui penyaluran pinjaman berdasarkan prinsip prudential banking dan good corporate governance," katanya kepada Kontan.co.id, Minggu (28/3).
Menanggapi fenomena tersebut, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menjelaskan di tengah pandemi saat ini, risiko usaha jelas meningkat drastis dibanding situasi normal. Artinya, risiko kredit juga ikut meninggi dan membuat kredit yang sudah disalurkan oleh perbankan terancam macet.
Walhasil, sejak awal pandemi Covid-19 hingga saat ini seluruh bank jelas tengah berfokus untuk mencegah peningkatan non performing loan (NPL) ketika masa program restrukturisasi kredit dari OJK berakhir. "Bank memang tidak akan menyalurkan kredit karena risiko yang besar. Di sisi lain, dunia usaha yang sekarang ini terbatasi oleh pandemi yang juga tidak membutuhkan kredit atau pembiayaan," kata Piter.
Baca Juga: Bank Mandiri minta nasabah segera ganti kartu debit ke chip, sebelum dinonaktifkan
Dia juga mengamini, upaya pemerintah dan regulator dengan menerbitkan beragam stimulus belum akan berdampak banyak. Menurutnya, stimulus dan relaksasi itu dalam waktu dekat hanya mampu mengerem kontraksi kredit saja, belum akan mendorong pertumbuhan kredit hingga positif.
Menurut kacamatanya, kredit perbankan baru akan bergerak deras ketika status pandemi berakhir dan dunia usaha kembali normal. Singkatnya, selama pandemi masih berlangsung tentu kredit bank belum akan naik signifikan.
Selanjutnya: Sepanjang 2021, OJK sudah terbitkan 7 POJK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News