kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45922,10   12,79   1.41%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia Dinilai Lebih Siap Hadapi Gejolak Ekonomi Global, Ini Alasannya


Rabu, 08 Juni 2022 / 14:15 WIB
Indonesia Dinilai Lebih Siap Hadapi Gejolak Ekonomi Global, Ini Alasannya

Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kondisi ekonomi dunia kini tengah mengalami berbagai guncangan, di antaranya akibat perang yang tengah terjadi antara Rusia dan Ukraina, kenaikan tingkat suku bunga Amerika Serikat (AS), dan beberapa faktor lainnya.

Dengan situasi yang terjadi saat ini, Chief Economist DBS Taimur Baig optimistis perekonomian dunia memiliki secercah harapan, di mana Indonesia memiliki prospek yang cukup menjanjikan.

Taimur melihat perang yang masih terjadi antara Rusia dan Ukraina tak ayal menimbulkan kekhawatiran terhadap ketidakstabilan pasokan pangan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Pasalnya, beberapa waktu lalu, pemerintah Ukraina mengumumkan adanya pembatasan ekspor beberapa komoditas pangan penting, seperti gandum, gula, dan minyak sawit guna mencukupi kebutuhan pangan selama perang.

Indonesia sendiri telah menjadi salah satu negara dengan impor gandum terbesar dari Ukraina, menduduki peringkat kedua berdasarkan hasil riset United Nations (UN) Comtrade 2021.

Walau begitu, ia memandang hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan mengingat negara-negara yang terdampak masih bisa menemukan sumber pengekspor pangan lain yang dapat menggantikan Ukraina.

Baca Juga: Bank Dunia Memperingatkan Ekonomi Global Terancam Stagfalasi yang Berbahaya, Apa Itu?

“Indonesia masih memiliki sumber suplai komoditas dalam jumlah besar di dunia ini, baik itu nasi, gandum, maupun kopi. Oleh sebab itu, kami tidak melihat bahwa kita sedang berada di tengah krisis suplai parah karena kondisi ini lebih menyangkut ke permasalahan distribusi saja,” jelas Taimur dalam keterangan tertulis, Selasa (7/6).

Selain tantangan distribusi pangan, emerging market juga dihadapkan tantangan lain, yakni kenaikan suku bunga global. Setiap kali Amerika Serikat menaikkan tingkat suku bunga, perekonomian negara yang bergantung pada aliran modal global menjadi sulit karena tingkat suku bunganya mengikuti tren global.

Meski menjadi tantangan tersendiri, Taimur percaya hal ini masih dapat dikendalikan. Mengingat tidak seperti sebelumnya, kini ekonomi Indonesia memiliki cadangan devisa yang jauh lebih tinggi dan luas serta defisit ekonomi yang lebih rendah, sehingga membuat Indonesia lebih siap menaklukkan tantangan perekonomian yang kompleks.

Pada Mei 2022 lalu, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga. Taimur juga menganggap langkah ini tidak menjadi persoalan, mengingat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) stabil, dan Indonesia sejauh ini tidak menghadapi kesulitan pangan yang di luar kendali.

“Secara keseluruhan, meskipun tingkat suku bunga di AS naik, tetapi hal ini tidak berpengaruh terhadap volatilitas rupiah. Alasannya, Indonesia telah memiliki eksposur terhadap banyak komoditas, dan harga komoditas yang tinggi pun tersedia di Indonesia,” imbuhnya.

Taimur meyakini walau terdapat risiko yang mengintai Indonesia, sejauh ini level inflasi dan risikonya jauh lebih terkendali, sehingga bisa dikatakan prospek Indonesia berjalan baik dan mampu mencapai target.

Berdasarkan basis historis, DBS menganalisis ekonomi Indonesia yang tumbuh 4,5 dan 4,8% sepanjang tahun ini tidak serta-merta bergantung pada apa yang terjadi di AS atau China, berbeda dengan negara lain di Asia yang merasakan dampaknya. Sebaliknya, kondisi Indonesia lebih menitikberatkan pada ekonomi domestik pascapandemi yang kini mulai bangkit kembali.

Selain itu, Taimur juga mengamati kenaikan pajak di Indonesia yang mulai diberlakukan pada April 2022 silam, dan menganggap kebijakan tersebut perlu untuk diterapkan.

Baca Juga: World Bank Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Jadi 2,9%, Ingatkan Stagflasi

Rasio digit Indonesia berdasarkan perbandingan internasional sangat rendah dibandingkan AS yang hampir menyentuh 100% dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan India sebesar 70% dari PDB, sementara Indonesia bahkan tidak menyentuh 40% dari PDB.

Sejak krisis finansial yang terjadi pada 1997-1998, Indonesia sangat konservatif dalam hal pemberlakuan perusahaan induk (public sector holding) dan defisit fiskal. Negara-negara yang memperhitungkan PDB sebagian besar memiliki defisit PDB kisaran 4-6%.

Dengan perspektif tersebut, defisit tahunan Indonesia dapat terbilang sangat rendah, namun perlu diingat jika terjadi kenaikan defisit yang tinggi, maka tetap perlu diwaspadai.

“Pada dua tahun terakhir, 10-15% defisit, dibandingkan dengan Indonesia, sangatlah rendah. Hal ini memberi sinyal bahwa memasuki tahun 2020 ke depan, ada banyak negara di dunia yang mengkhawatirkan defisit fiskal,” tutup Taimur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

×