kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indonesia Bisa Hemat Rp 107 Triliun Jika Subsidi Energi Beralih ke Transfer Tunai


Senin, 03 Oktober 2022 / 05:00 WIB
Indonesia Bisa Hemat Rp 107 Triliun Jika Subsidi Energi Beralih ke Transfer Tunai

Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -   JAKARTA. Di tengah kenaikan harga energi dunia, pemerintah Indonesia masih memberikan subsidi. Kendati pada September 2022, pemerintah menaikkan garga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk mencegah membengkaknya anggaran subsidi.

Pemerintah sadar langkah ini akan menyulut inflasi. Untuk itu, ada tambahan anggaran perlindungan sosial untuk menahan efek peningkatan inflasi kepada daya beli masyarakat sebesar Rp 24,17 triliun.

Sekaligus, pemerintah berharap langkah ini membuat bantuan lebih tepat sasaran. Apalagi selama ini subsidi energi malah banyak dinikmati oleh orang berduit. 

Baca Juga: Didorong Kenaikan Harga BBM, Sejumlah Ekonom Prediksi Inflasi September Lebih Tinggi

Namun tetap, pemerintah masih belum bisa menghapus subsidi energi secara keseluruhan dan berganti dengan skema bantuan sosial tunai (cash transfer) yang lebih tepat sasaran. Padahal, Bank Dunia memandang, skema bantuan tunai ini bakal lebih efektif menjangkau mereka yang benar-benar membutuhkan. 

Belum lagi, skema bantuan tunai bisa mengkerdilkan kocek yang harus dirogoh pemerintah. Dalam laporan East Asia and The Pasific Economic Update edisi Oktober 2022, Bank Dunia menghitung, pemerintah Indonesia bisa menghemat biaya fiskal hingga 0,6% produk domestik bruto (PDB) dengan skema ini. 

Pada tahun 2022 pemerintah menargetkan PDB Indonesia tumbuh 5,2% yoy atau mencapai Rp 17.853,28 triliun. Menurut hitungan KONTAN, berarti dengan menerapkan skema bantuan tunai, pemerintah bisa menghemat sekitar Rp 107,119 triliun. 

Namun, Bank Dunia memberi catatan, kondisi ini terjadi bila ketidakpastian harga energi dunia hanya berlangsung seumur jagung. 

Baca Juga: Perbankan Optimistis Permintaan KPR Masih Tinggi di Tengah Kenaikan Suku Bunga

Bank Dunia maklum akan hal itu. Pasalnya, memang banyak negara-negara di dunia yang masih belum bisa menerapkan sistem ini. Dari kajian mereka, ada beberapa hal yang menjadi alasan negara-negara tersebut belum menerapkan hal in. 

Pertama, dari perspektif kesejahteraan sosial. Sebagian besar penduduk miskin tidak menerima uluran tangan karena banyak negara tidak memiliki infrastruktur penyaluran yang memadai. Dalam hal ini, termasuk negara tidak memiliki daftar nama warga miskin secara komprehensif. 

Misalnya di Thailand, kurang dari separuh penduduk miskin yang memiliki kartu kesejahteraan sosial yang diperlukan. 

Kedua, dari perspektif politik. Bantuan yang lebih tepat sasaran dianggap tidak menguntungkan mayoritas masyarakat yang ada di atas garis kemiskinan. Padahal, masyarakat kelas ini merasa tetap merasakan tekanan inflasi. 

Baca Juga: UPDATE Harga BBM Shell Hari Ini, 3 Jenis Bensin Turun Harga, Dua Jenis Solar Naik

Ketiga, dari perspektif kebijakan industri. Dengan subsidi yang diberikan pemerintah, bisa menciptakan kontrol harga. Kontrol harga ini dirasa dapat melindungi perusahaan dari kenaikan biaya produksi pasca Covid-19. 

Keempat, dari perspektif kebijakan moneter. Bantuan yang tepat sasaran masih tetap menyundut inflasi. Namun, ini menjadi masalah bagi negara yang memiliki otoritas moenter yang kurang kredibel dalam menjangkar ekspektasi inflasi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

×