Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Pemerintah Indonesia mulai membuka pembahasan lanjutan dengan Amerika Serikat (AS) terkait permintaan akses terhadap mineral kritis nasional. Isu ini masuk dalam tahap diskusi implementasi dan menjadi bagian dari perundingan lanjutan perjanjian dagang Indonesia–AS.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, pembahasan akses mineral kritis tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan dikaitkan dengan kepentingan perdagangan yang lebih luas, termasuk akses pasar, tarif, serta peluang kerja sama investasi.
Amerika Serikat disebut memiliki kepentingan strategis terhadap pasokan mineral kritis Indonesia untuk menopang berbagai industri unggulan, mulai dari manufaktur berteknologi tinggi hingga agenda transisi energi dan kendaraan listrik.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy menilai, prinsip utama dalam setiap kesepakatan dagang harus bersifat saling menguntungkan.
Bagi Indonesia, manfaat konkret yang harus diperoleh antara lain kemudahan akses pasar AS dan penyesuaian tarif yang lebih kompetitif bagi komoditas unggulan nasional seperti kelapa sawit, kakao, tekstil, hingga produk manufaktur.
Baca Juga: MRT Jakarta Tancap Gas hingga Dini Hari! Ini Jam Operasional Malam Tahun Baru 2026
“Kesepakatan dagang harus memberikan nilai tambah yang jelas bagi Indonesia, bukan hanya dari sisi mineral, tetapi juga dari komoditas lain yang selama ini menjadi andalan ekspor ke AS,” ujar Sudirman kepada Kontan, Senin (29/12/2025).
Terkait permintaan akses mineral kritis, Sudirman menegaskan bahwa hal tersebut bukan menjadi persoalan selama mineral tetap diolah di dalam negeri. Indonesia, kata dia, selama ini telah mengekspor produk hasil hilirisasi mineral kritis ke berbagai negara.
Komoditas tersebut meliputi tembaga, nikel, bauksit dalam bentuk alumina, serta timah.
“Yang penting bukan dalam bentuk bahan mentah. Produk hasil pengolahan bisa saja dialihkan sebagian ke pasar AS sebagai konsekuensi kesepakatan dagang, tentu dengan harga yang wajar sesuai mekanisme pasar internasional,” jelasnya.
Sementara untuk logam tanah jarang (LTJ), Sudirman menilai kekhawatiran masih terlalu dini. Saat ini Indonesia belum memiliki industri pengolahan LTJ skala komersial dalam volume besar, sehingga belum menjadi isu krusial dalam jangka pendek.
Tonton: Ekonom Ungkap Penentuan Formulasi Bea Keluar Batubara Perlu Diskusi dengan Pengusaha
Dari sisi sumber daya, Indonesia memiliki potensi mineral kritis yang sangat besar. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan bijih nikel Indonesia mencapai sekitar 5,9 miliar ton dengan potensi sumber daya hingga 19,15 miliar ton.
Cadangan bijih tembaga tercatat sebesar 2,85 miliar ton dengan potensi sumber daya mencapai 18,33 miliar ton. Sementara itu, cadangan bauksit mencapai 2,86 miliar ton dengan potensi 7,78 miliar ton, serta cadangan bijih timah sebesar 6,42 miliar ton dengan potensi sumber daya sekitar 8,27 miliar ton.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menilai, ketertarikan AS terhadap mineral kritis Indonesia sangat rasional mengingat peran strategis mineral tersebut bagi industri dan keamanan nasional AS.
Namun demikian, ia mengingatkan agar Indonesia berhitung cermat sebelum memberikan akses yang terlalu luas.
“Jika akses mineral kritis menjadi bagian dari kesepakatan resiprokal, manfaat jangka pendek harus dibandingkan secara kuantitatif dengan kepentingan jangka panjang Indonesia dalam industrialisasi dan transisi energi,” ujar Singgih.
Ia menegaskan, tidak semua negara memiliki cadangan mineral kritis yang memadai, sementara kebutuhan global terus meningkat. Oleh karena itu, pemberian akses kepada AS harus diimbangi dengan komitmen investasi, peningkatan nilai tambah, transfer teknologi, serta penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.
Baca Juga: Berlaku 1 Jan 2026, Ini UMK Jawa Barat 2026, Bekasi Tertinggi, Dekati Rp 6 Juta
“Jangan sampai akses hanya berujung pada ekspor mineral mentah. Pengembangan mineral kritis harus memperkuat ketahanan ekonomi dan kemandirian industri nasional,” tegasnya.
Singgih menambahkan, potensi mineral kritis Indonesia masih dapat terus meningkat seiring strategi eksplorasi yang lebih agresif dan terarah. Pemerintah sendiri telah menetapkan 47 komoditas tambang sebagai mineral kritis melalui Keputusan Menteri ESDM, dengan nikel dan tembaga sebagai komoditas yang telah diproduksi secara masif.
Kesimpulan
Ketertarikan Amerika Serikat terhadap mineral kritis Indonesia mencerminkan posisi strategis Indonesia dalam rantai pasok global, terutama untuk industri teknologi dan transisi energi. Namun, akses tersebut harus dinegosiasikan secara resiprokal dan berhati-hati, dengan memastikan hilirisasi tetap berjalan di dalam negeri, nilai tambah meningkat, serta ada imbal balik nyata berupa akses pasar, investasi, transfer teknologi, dan penciptaan lapangan kerja. Tanpa kalkulasi jangka panjang, pemberian akses mineral berisiko melemahkan agenda industrialisasi dan ketahanan ekonomi nasional.
Selanjutnya: Ternyata Ini 6 Tanda Anda Punya Sifat Dewasa, Bukan dari Umur Lho
Menarik Dibaca: Ternyata Ini 6 Tanda Anda Punya Sifat Dewasa, Bukan dari Umur Lho
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













