Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia mengalami tiga kali krisis ekonomi yang besar dalam 25 tahun terakhir. Yakni, krisis pada tahun 1997-1998 atau krisis moneter, krisis finasial global tahun 2008 dan krisis di tahun 2020 hingga saat ini yang disebabkan pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, krisis pertama yang populer disebut krisis moneter telah melanda negara-negara di kawasan Asia yang dipacu fenomena current account deficit (CAD). Bahkan posisi CAD kala itu telah mencapai 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang menandakan keuangan negara dalam kondisi rapuh.
Negara-negara di ASEAN dan Asia Timur termasuk Korea Selatan yang meskipun merupakan pengekspor, tetapi memiliki CAD yang cukup tinggi. Dus, situasi tersebut menjadikan nilai tukar negara-negara yang mengalami krisis moneter melemah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
“Jadi krisis pertama adalah balance of payment crisis, atau krisis yang di-trigger oleh neraca pembayaran karena rezim nilai tukar yang fixed. Dengan exchange rate yang sangat dalam koreksinya,” kata Sri Mulyani dalam acara peluncuran buku 25 Tahun Kontan: Melintasi 3 Krisis Multidimensi yang diselenggarakan Kontan, Minggu (24/10).
Baca Juga: Sri Mulyani: Setiap krisis, the real last resort adalah keuangan negara
Sri Mulyani mengatakan, hal tersebut berakibat pada perusahaan dan perbankan yang waktu itu banyak meminjam dollar AS ke luar negeri. Ini menjadi beban para debitur karena nilai tukar rupiah terus terkoreksi dari Rp 2.500 per dollar AS sampai dengan sekitar Rp 17.000 per dollar AS.
“Kalau utang kita berlipat ganda, walaupun tadinya utangnya sama tapi nilai tukar berubah, maka penerimaan Anda yang dalam bentuk rupiah menjadi tidak bisa mampu untuk membayarnya kembali,” ujar Sri Mulyani.
Dengan demikian, sistem keuangan dan perbankan mengalami tekanan krisis moneter, hingga berdampak pada sektor rill. Bahkan, inkator ekonomi, seperti inflasi mencapai 75% akibat pemburukan nilai tukar rupiah.
“Maka kemudian kenanya adalah kepada keuangan negara karena negara yang bail out seluruh sistem keuangan dan menjadi countercyclical seluruh sektor riil yang mengalami krisis luar biasa,” kata Sri Mulyani.
Tak bisa dipungkiri krisis moneter membuat pembangunan tersendat, bertambahnya pengangguran, lonjakan kemiskinan, sampai dengan sosial-ekonomi. Hingga, muncullah era reformasi.
Alhasil, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara untuk membuat regulasi yang dapat mengantisipasi krisis di masa mendatang.
“Dari sana muncullah Bank Indonesia (BI) yang diberikan indepedensi, muncullah sektor yang meregulasi perbankan, muncullah UU bankruptcy yang waktu itu dilahirkan utnuk mengatasi kebangkrutan yang masif, lalu UU mengenai competition, karena waktu itu oligarki,” kata Sri Mulyani.
Baca Juga: Sri Mulyani: Setiap krisis, the real last resort adalah keuangan negara
Lebih lanjut, Menkeu menyampaikan krisis kedua yakni pada 2008 disebabkan oleh kebangkrutan perusahaan properti asal AS yaitu Lehman Brothers yang dengan cepat menjalar ke seluruh dunia.
Kendati demikian, Sri Mulyani mengatakan, dampak krisis financial global saat itu tak terlalu membebani dalam negeri. Sebab, pasca reformasi, sistem keuangan Indonesia relatif bisa mengantisipasi pemburukan.
“Krisis kedua ini kita sudah punya LPS sebagai stop gate-nya. Makanya keuangan negaranya sebetulnya kenanya di LPS itu. Kalau LPS itu modalnya drop di bawah yang dimiliki, pemerintah harus menginjeksi. Karena dia yang menjadi stabilizer dari yang disebut deposit insurance,” kata Menkeu.
Selanjutnya, krisis ketiga yang bermuara pada masalah kesehatan yang telah merambat ke seluruh dunia. Pandemi virus corona tak mengenal tingkatan perekonomian negara. Amerika Serikat (AS) sebagai negara maju pun ikut dilanda pandemi Covid-19 dengan korban meninggal bahkan melebihi perang dengan Vietnam pada 1955-1975.
Sri Mulyani menjelaskan, karena yang diancam langsung jiwa manusia, maka krisis ketiga yang langsung terdampak adalah keuangan negara. Sebab, pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan masyarakat dari sisi kesehatan.
Hingga, pandemi virus corona juga berdampak pada sosial dan ekonomi. Karena masalah kesehatan, seketika kegiatan masyarakat itu lumpuh, aktivitas sosial ekonomi menurun.
“Dan yang kena selalu balance sheet. Balance sheet rumah tangga kena, orang yang gak punya pekerjaan atau pekerjaan harian kehilangan pendapatan. Orang yang tidak punya tabungan kena, perusahaan kehilangan konsumen, perusahaan tidak bisa bayar cicilan, semua langsung kena ke neraca rumah tangga, perusahaan, perbankan, dan ujungnya lagi-lagi keuangan negara,” kata dia.
Untuk itu, Menkeu mengatakan, negara hadir dengan memberikan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk meredam dampak pandemi dari segala aspek. Kebutuhan yang menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melonjak dari yang sebelumnya diamanatkan dalam UU tentang Keuangan Negara.
“Jadi kalau Anda lihat trigger krisisnya berbeda, bisa BOP, bisa krisis keuangan, bisa penyakit. Tapi ujungnya semuanya sama, keuangan negara yang mengalami beban terbesar. Nah keuangan negara makanya saya selalu menyampaikan harus mampu mengantisipasi. Dunia itu selalu bisa dihantam, Indonesia bisa dihantam berbagai krisis,” ucap Sri Mulyani.
Selanjutnya: Sri Mulyani: Pasca Covid, ancaman krisis berikutnya bisa climate change dan disrupsi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News