Reporter: Ferry Saputra | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pabrik-pabrik raksasa di China tampaknya akan memproduksi plastik yang melimpah sehingga akan membanjiri pasar global.
Melansir Yahoo Finance, Minggu (9/7), konsultan industri dari ICIS, menyampaikan China membangun lebih dari 20 proyek petrokimia untuk memproduksi bahan baku yang digunakan untuk membuat segala sesuatu mulai dari kemasan plastik, pakaian, dan deterjen. Pembangunan tersebut diperkirakan akan selesai di seluruh China pada tahun ini.
Sementara itu, sebagian dari hasil produksi China akan masuk ke pabrik-pabrik di dalam negeri. Adapun hal itu dipicu pemulihan ekonomi China yang lebih lambat dari perkiraan dan investasi yang berlebihan berpotensi membuat kelebihan pasokan.
Baca Juga: Harga Gas Tinggi Menggerus Daya Saing Industri Manufaktur
Akibatnya, keuntungan dari bahan untuk membuat petrokimia, seperti etilena dan propilena, akan menyusut. Hal itu juga akan memperpanjang kelesuan dari tahun ini ketika margin bulan Juni mencapai sekitar 40% di bawah level 2019.
China sangat antusias dalam industri tersebut karena pertumbuhan permintaan domestik untuk plastik mulai melampaui produk turunan minyak lainnya, seperti bahan bakar transportasi dan industri.
Dikarenakan tidak mampu menampung hasil produksi lebih banyak di dalam negeri, China berpotensi mengekspor lebih banyak plastik dengan harga murah ke pasar dunia. Hal itu jelas menggerogoti pangsa pasar raksasa, seperti Korea Selatan dan Jepang.
"Pasar mengharapkan pemulihan China dari pandemi menjadi tajam dan kuat, tetapi ini tidak terjadi," kata Salmon Lee, kepala global poliester di Wood Mackenzie.
Baca Juga: Sektor Infrastruktur Diproyeksi Tumbuh pada 2023, Begini Dampaknya pada Emiten Semen
Sekarang ada pasokan berlebih dari China yang mana negara berkembang, seperti Vietnam, Turki, Afrika Selatan, dan India tidak dapat menyerap sepenuhnya.
S&P melihat margin global akan lemah sampai permintaan dan kapasitas kembali seimbang pada tahun 2025. Dari sekitar 50 juta ton kapasitas etilena baru yang siap beroperasi dari tahun 2020-2024, hampir 60% akan berasal dari China.
Wakil presiden konsultan kimia di Asia di S&P Global Commodity Insights Singapura, Larry Tan, mengatakan bahwa peningkatan China pada periode tersebut sebesar 400% dari kapasitas Jepang saat ini.
China terus menggelontorkan lebih banyak investasi ke dalam pabrik-pabrik tersebut. Pada Mei tahun ini, Sinopec mengumumkan investasi senilai 27,8 miliar yuan atau US$ 3,85 miliar untuk pabrik baru di Luoyang yang akan selesai dibangun pada 2025. Sektor petrokimia juga akan menjadi inti dari investasi terbaru Arab Saudi di Rongsheng Petrochemical Co.Ltd.
"China memiliki sektor petrokimia yang maju, keuntungan dari pasar domestik yang besar dan terus berkembang serta output yang berpotensi kompetitif untuk ekspor," kata Michal Meidan, direktur Program Penelitian Energi China di Institut Studi Energi Oxford.
Menurut Michal, dengan investasi BASF dan Arab Saudi baru-baru ini di Cina, jelas bahwa negara tersebut akan menjadi pasar yang penting. Namun, bagi negara-negara Barat sepertinya akan mempertanyakan dampak dari ekspansi China tersebut.
Baca Juga: Tuah dari Industri Teh Mengalir ke Industri Plastik
Data ICIS menyebut kapasitas petrokimia China akan mencapai hampir seperempat dari total kapasitas dunia pada akhir tahun ini. Hal itu melonjak dari lima tahun lalu, ketika kapasitasnya hanya 14% dari kapasitas manufaktur global.
"China dapat memanfaatkan kekuatannya sebagai penyuling terkemuka di dunia untuk menjadi pemasok petrokimia yang paling penting dan kompetitif," kata John Driscoll, direktur JTD Energy Services Pte di Singapura.
John memperkirakan suatu hari nanti, negara Barat akan menyadari bahwa China adalah pemasok tunggal terbesar untuk semua jenis plastik. Sebab, negara-negara yang ekonominya lebih matang, seperti Amerika Serikat, Eropa, hingga Australia secara drastis mengurangi produksi tanpa memenuhi kebutuhan mereka akan bahan-bahan tersebut.
Baca Juga: Teknologi, Gerai Baru dan Renovasi, Kunci Starbucks Menumbuhkan Laba hingga 2025
Dia mengatakan negara-negara, seperti India dan Vietnam, bisa memilih untuk membangun fasilitas produksi mereka sendiri dengan alasan bahwa mereka akan mempertimbangkan laba atas investasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional hingga mengurangi ketergantungan pada impor.
"Tahun ini dan tahun depan adalah titik kritis bagi industri petrokimia. Negara-negara Asia Utara, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, yang dahulu memimpin, tetapi sekarang akan bergeser ke Cina sehingga menjadi kekuatan utama di tahun-tahun mendatang," tambah John.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News