Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis ritel menjadi salah satu sektor usaha yang terperosok paling dalam akibat pandemi covid-19. Sejumlah perusahaan ritel pun mengalami kerugian, bahkan tak sedikit yang menutup usahanya.
Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, ada juga peritel yang harus menghadapi gugatan pailit atau permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pemulihan ekonomi dan vaksinasi covid-19 menjadi katalis positif yang kembali mengangkat bisnis ritel.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengamani hal tersebut. Namun, kondisi saat ini belum secara signifikan mendongkrak pemulihan industri ritel. "Secara kalkulasi kita masih minus. Lebih baik iya (awal tahun 2021 dibanding 2020), tapi belum recovery. Baru sebatas kontraksi positif, tapi hasilnya masih under perform," ungkap Roy kepada Kontan.co.id, Minggu (21/3).
Oleh sebab itu, Roy pun meminta pemerintah agar mempertimbangkan pemberian insentif terhadap pelaku usaha ritel, termasuk ritel modern. Insentif tersebut dapat berupa kucuran stimulus dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Menurut Roy, insentif yang diperlukan pelaku usaha antara lain dengan membantu merestrukturisasi kredit komersial pada bank. Lalu, pelaku ritel pun berharap adanya bantuan pemerintah berupa subsidi gaji, misalnya dengan mekanisme langsung kepada karyawan dengan subsidi gaji 50%.
"Apalagi untuk ritel yang kategorinya sudah sekarat, atau yang sudah menggunakan dana operasionalnya dari dana cadangan. Dana ekspansi sudah dipakai untuk operasional, dan itu sangat terbatas," ungkap Roy.
Baca Juga: Didominasi toko kelontong, pasar ritel India bernilai US$ 883 miliar di tahun lalu
Secara operasional, peritel juga meminta adanya bantuan dari pemerintah, misalnya dalam diskon biaya listrik. "Ritel harus tetap buka, berarti kan cashflow harus saling menutup lobang di sana sini. Akhirnya dana-dana ekspansi atau cadangan digunakan untuk mempertahankan operasional," imbuh Roy.
Tak hanya soal insentif, Roy pun meminta adanya prioritas vaksinasi terhadap para karyawan ritel. Hal itu dinilai penting lantaran interaksi di pusat perbelanjaan dan ritel juga tinggi dan terjadi setiap hari.
"Jangan dilihat karena (ritel) kelompok korporasi, jangan hanya ke sana. Tapi peritel juga kan terdampak, dan lihat juga interaksi dengan masyarakat tinggi, jadi juga perlu dilindungi dengan adanya kepastian vaksin," tandas Roy.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengamini bahwa yang masih menjadi masalah bagi peritel adalah pendapatan yang berkurang sangat jauh dibandingkan kondisi normal, sehingga tidak bisa menutupi biaya operasional meski sudah berada pada tingkat yang paling efisien.
Pusat Perbelanjaan, sambungnya, mengharapkan bantuan dari pemerintah dalam bentuk yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Sebab kondisi Pusat Perbelanjaan dapat dikatakan sudah tidak memiliki dana cadangan. "Bentuk bantuan secara langsung tersebut misalnya adalah bantuan atau subsidi untuk gaji pekerja," ungkap Alphonzus.
Kerugian HERO dan Gugatan Terhadap Centro
Ambruknya industri ritel selama masa pandemi tahun lalu antara lain tergambar dalam kinerja perusahaan peritel. Sebut saja PT Hero Supermarket Tbk (HERO) dalam laporan keuangan tahun 2020 mencatatkan penurunan pendapatan bersih yang anjlok 26,99% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 8,89 triliun.
Hal itu kemudian membawa HERO menanggung rugi tahun berjalan hingga Rp 1,21 triliun, atau membengkak dibanding tahun 2019 yang tercatat sebesar Rp 28,22 miliar.
Terbaru, ada juga gugatan terhadap PT Tonzy Sentosa pengelola Centro Department Store dan Parkson Department Store, yang digugat oleh lima pemasoknya di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tak hanya itu, Centro juga menutup gerai ritelnya di Ambarukmo Plaza, Yogyakarta, yang telah berdiri selama 15 tahun.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas menjelaskan, kondisi di atas menggambarkan terpuruknya industri ritel karena pandemi. Dengan adanya pembatasan mobilitas dan penurunan konsumsi masyarakat, pendapatan peritel pun melorot.
Sebaliknya, beban bertambah karena peritel juga harus menerapkan protokol kesehatan termasuk mengeluarkan biaya tambahan untuk pengadaan disinfektan, hand sanitizer serta alat pelindung diri. Selain tetap mengeluarkan biaya rutin seperti sewa dan biaya karyawan.
Dia memberikan gambaran, dari skala 100 indeks kepercayaan konsumen, pada tahun lalu selalu di bawah 70 secara bulanan. Omzet peritel secara umum pun turun drastis. Untuk ritel di segmen pangan, Roy mencatat ada penurunan rerata sebanyak 40%. Sedangkan omzet untuk ritel non-pangan anjlok hingga 60%.
Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menjelaskan bahwa ritel dengan format besar seperti supermarket atau hipermarket sangat terpukul oleh pandemi. Sebaliknya, ritel dalam skala mini market bisa bertahan, bahkan masih bisa mencatatkan pertumbuhan meski tidak signifikan.
"Karena covid, orang-orang nggak mau berkeliling lama. Maunya itu langsung datang, beli, bayar. Model muter-muter cuci mata dalam situasi ini nggak diminati, maka jadi drop," terang Budiharjo.
Ke depan, tren tersebut harus dilihat oleh para peritel berskala jumbo. Apalagi, dorongan belanja digital juga tak terhindarkan. "Orang nggak mau repot cari barang, cepat dan praktis. Ini memang tantangan dan dinamika yang harus dicari solusinya oleh para peritel seperti kami," ungkapnya.
Adapun menurut catatan Hippindo, pada tahun lalu omzet peritel turun dengan bervariasi. Untuk kategori supermarket atau hipermarket, omzet bisa merosot hingga 20%-30%. Untuk segmen fashion bisa lebih dari 50%, begitu juga kategori department store.
Selanjutnya: Daya beli masyarakat membaik, berikut rekomendasi saham emiten sektor ritel
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News