Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Kerugian HERO dan Gugatan Terhadap Centro
Ambruknya industri ritel selama masa pandemi tahun lalu antara lain tergambar dalam kinerja perusahaan peritel. Sebut saja PT Hero Supermarket Tbk (HERO) dalam laporan keuangan tahun 2020 mencatatkan penurunan pendapatan bersih yang anjlok 26,99% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 8,89 triliun.
Hal itu kemudian membawa HERO menanggung rugi tahun berjalan hingga Rp 1,21 triliun, atau membengkak dibanding tahun 2019 yang tercatat sebesar Rp 28,22 miliar.
Terbaru, ada juga gugatan terhadap PT Tonzy Sentosa pengelola Centro Department Store dan Parkson Department Store, yang digugat oleh lima pemasoknya di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Tak hanya itu, Centro juga menutup gerai ritelnya di Ambarukmo Plaza, Yogyakarta, yang telah berdiri selama 15 tahun.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas menjelaskan, kondisi di atas menggambarkan terpuruknya industri ritel karena pandemi. Dengan adanya pembatasan mobilitas dan penurunan konsumsi masyarakat, pendapatan peritel pun melorot.
Sebaliknya, beban bertambah karena peritel juga harus menerapkan protokol kesehatan termasuk mengeluarkan biaya tambahan untuk pengadaan disinfektan, hand sanitizer serta alat pelindung diri. Selain tetap mengeluarkan biaya rutin seperti sewa dan biaya karyawan.
Dia memberikan gambaran, dari skala 100 indeks kepercayaan konsumen, pada tahun lalu selalu di bawah 70 secara bulanan. Omzet peritel secara umum pun turun drastis. Untuk ritel di segmen pangan, Roy mencatat ada penurunan rerata sebanyak 40%. Sedangkan omzet untuk ritel non-pangan anjlok hingga 60%.
Sebelumnya, Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menjelaskan bahwa ritel dengan format besar seperti supermarket atau hipermarket sangat terpukul oleh pandemi. Sebaliknya, ritel dalam skala mini market bisa bertahan, bahkan masih bisa mencatatkan pertumbuhan meski tidak signifikan.
"Karena covid, orang-orang nggak mau berkeliling lama. Maunya itu langsung datang, beli, bayar. Model muter-muter cuci mata dalam situasi ini nggak diminati, maka jadi drop," terang Budiharjo.
Ke depan, tren tersebut harus dilihat oleh para peritel berskala jumbo. Apalagi, dorongan belanja digital juga tak terhindarkan. "Orang nggak mau repot cari barang, cepat dan praktis. Ini memang tantangan dan dinamika yang harus dicari solusinya oleh para peritel seperti kami," ungkapnya.
Adapun menurut catatan Hippindo, pada tahun lalu omzet peritel turun dengan bervariasi. Untuk kategori supermarket atau hipermarket, omzet bisa merosot hingga 20%-30%. Untuk segmen fashion bisa lebih dari 50%, begitu juga kategori department store.
Selanjutnya: Daya beli masyarakat membaik, berikut rekomendasi saham emiten sektor ritel
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News