Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Cerita berbeda juga bisa terjadi seandainya rantai supply dan demand tidak terputus. Misalnya dalam hal bahan untuk obat-obatan. Lantaran supply dan demand masih bergerak, maka arus barang menjadi lebih lancar. Bahkan untuk produk yang penting seperti itu, sekalipun tidak ada kontainer maka bisa disiasati dengan pengiman udara.
"Jadi ini kan semua kayak timbangan. Ketika timbangan berat di sana, ya nggak balik. Equilibrium dari supply dan demand itu yang menyebabkan tarif menjadi turun dan stabil," jelas Mahendra.
Bagaimana dengan pengangkutan dalam negeri? mengenai hal ini, Mahendra menerangkan bahwa semestinya kelangkaan dan kenaikan tarif kontainer di jalur ekspor-impor internasional tidak berdampak terhadap pergerakan kontainer domestik. Sebab, manajemen kontainer diatur secara terpisah untuk domestik dan internasional.
Faktor lainnya, kondisi arus barang di Indonesia sejak dulu masih relatif sama. Produksi atau arus barang industri secara signifikan berasal dari Jawa. Sebaliknya, belum ada industri yang signifikan untuk mendatangkan produk ke Jawa. "Jadi situasi Domestik dan internasional beda, dari dulu sudah pincang, supply dan demand-nya nggak seimbang. jadinya mahal," sebut Mahendra.
Di sisi lain, mengenai biaya logistik, pemerintah diminta untuk jeli dan melihat secara holistic. Misalnya, kenaikan tarif tol di tengah kondisi pandemi justru menambah beban dari segi biaya transportasi.
Alih-alih menaikkan tarif tol, dia melihat perlu ada dukungan insentif untuk kendaraan-kendaraan logistik. Misalnya dengan memperpanjang tenor dari 5 tahun menjadi 10 tahun sehingga cicilan bisa turun, serta adanya penurunan bunga kredit.
"Sekarang kemampuan pabrik untuk beroperasi menjaga volume produksi saja berat, jadi jangan lagi dibebankan dengan biaya-biaya tambahan. Itu kalau kita mau membuat roda ekonomi berputar lagi," pungkas Mahendra.
Selanjutnya: Kelangkaan kontainer secara global masih terjadi, begini kata INSA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News