Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak awal tahun lalu membuat penyaluran kredit perbankan tersendat. Hal ini pun membuat likuiditas alias pendanaan perbankan menjadi sangat melimpah.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, yang menyebut saat ini likuiditas perbankan masih cukup memadai. Hal ini ditandai oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) Desember 2020 mencapai double digit, yaitu sebesar 11,11% secara year on year (yoy).
Tak cuma itu, OJK juga mencatat saat ini alat likuid perbankan terus meningkat hingga mencapai sebesar Rp 2.218 triliun per 20 Januari 2020. Jauh lebih jumbo dibandingkan dengan periode setahun lalu yang sebesar Rp 1.241 triliun. "Indikator likuiditas perbankan secara industri terjaga baik, dengan kecenderungan meningkat," ujarnya, Senin (1/2).
Baca Juga: BRI dukung sistem pembayaran jalan tol berbasis MLFF
Meski begitu, sejumlah bank besar mengatakan masih membuka opsi pendanaan di tahun ini. Namun, sebagian besar menyebut hal tersebut sangat bergantung pada kondisi pasar dan pertumbuhan ekonomi di 2021.
PT Bank Mandiri Tbk misalnya, yang punya rencana penerbitan surat utang berwawasan lingkungan alias green bond bermata uang asing. Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi bilang nilai emisi penerbitan ini bisa mencapai US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,23 triliun.
Walau belum dapat merinci, Darmawan mengatakan bila dibutuhkan dana tersebut bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan likuiditas Bank Mandiri ke depan. Tapi, bank berlogo pita emas ini menjelaskan bahwa saat ini tingkat likuiditas perseroan masih sangat cukup untuk mendukung rencana bisnis di tahun 2021, bahkan hingga tahun 2022.
Lanjut Darmawan, penerbitan green bond ini merupakan bagian dari surat utang global yang telah disetujui dengan total US$ 2 miliar. Dari total tersebut, Bank Mandiri telah menerbitkan senilai US$ 1,25 miliar sehingga masih tersisa US$ 750 juta.
Baca Juga: Koperasi tetap ekspansi di tengah pandemi
Sementara untuk penggalangan dana dalam mata uang rupiah, Bank Mandiri menyebut belum punya rencana. Meski sejatinya perseroan masih punya jatah penerbitan obligasi berkelanjutan senilai Rp 19 triliun hingga Mei 2022 mendatang.
Serupa, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) pun mengatakan belum punya rencana untuk melakukan penerbitan obligasi tahun ini. Akan tetapi, menurut Direktur Utama Bank BRI Sunarso pihaknya memang masih punya jatah penerbitan di tahun ini.
BRI memang masih mengantongi jatah penerbitan Obligasi Berkelanjutan III dengan total penerbitan Rp 20 triliun sampai tahun ini. Tahap pertama telah diterbitkan Rp 5 triliun pada 2019, sementara tahun lalu tak ada penerbitan sehingga perseroan masih masih punya jatah penerbitan Rp 15 triliun.
Sekretaris Perusahaan Bank BRI Aestika Oryza Gunarto mengatakan, sebenarnya perseroan tetap menyediakan pendanaan non DPK. Sejalan dengan Rencana Bisnis Bank BRI baik melalui melalui penerbitan obligasi maupun pinjaman dengan tetap mempertimbangkan kondisi likuiditas dan pasar.
Hanya saja, dengan pertumbuhan DPK yang diperkirakan masih akan tumbuh lebih tinggi dari kredit, maka pendanaan belum menjadi fokus utama Bank BRI. "Tantangannya bukan di likuiditas, melainkan di pertumbuhan kredit. Mengingat faktor utama pendorong pertumbuhan kredit (konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat) masih belum sepenuhnya pulih," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (2/2).
Baca Juga: Bank Mandiri prediksi cadangan devisa bulan Januari naik lagi
Memang, merujuk pada laporan keuangan kuartal IV 2020 total DPK BRI masih sangat mumpuni dengan pertumbuhan 9,8% menjadi Rp 1.121,1 triliun. Kemudian, posisi loan to deposit ratio (LDR) BRI juga masih terjaga rendah di 83% akhir tahun lalu.
Sama halnya dengan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Direktur Corporate Banking BNI Silvano Rumantir bilang pihaknya mengatakan masih membuka opsi pendanaan non konvensional sebagai salah satu opsi pemenuhan likuiditas.
Namun, menurut Silvano strategi pendanaan perseroan di 2021 bakal mengutamakan DPK. Khususnya melalui pemanfaatan dan pertumbuhan dana murah melalui optimalisasi transaksi yang didukung oleh teknologi digital.
Wajar, tahun lalu DPK BNI tercatat tumbuh 10,6% yoy menjadi Rp 679,5 triliun. Hal itu utamanya ditopang kenaikan rasio CASA sebanyak 160 basis poin secara tahunan menjadi 68,4% terhadap total DPK. "Untuk pendanaan non konvensional tetap kami pertimbangkan, sebagai salah satu opsi," ujar Silvano.
Baca Juga: Naik 6,7 kali lipat, BTN catatkan laba bersih Rp 1,6 triliun tahun lalu
Melihat fenomena likuiditas yang melimpah ini, Ekonom dan Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan secara agregat likuiditas bank memang ample. Hal ini utamanya disebabkan oleh bank besar yang mengalami kenaikan DPK. Sementara beberapa bank kecil masih mencatatkan pertumbuhan tipis atau bahkan turun.
Namun, di tahun 2021 pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa mulai membaik, seiring meredanya pandemi Covid-19. Bila itu terjadi maka kinerja perbankan baik industri maupun individu bakal membaik. "Dengan likuiditas yang melimpah di bank-bank tertentu, penyaluran kredit diharap bisa tumbuh lebih baik," terang Piter.
Selanjutnya: Kredit perumahan tahun ini bakal menggeliat, ini alasannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News